Friday 7 November 2014

Kali ini kita akan membahas tentang Menelaah Proses Kreatif Menulis Cerpen “Perihal Orang Miskin yang Bahagia”. Semoga artikel ini bermanfaat, aamiin.

Menelaah Proses Kreatif Menulis Cerpen “Perihal Orang Miskin yang Bahagia”

Setelah mengetahui karakteristik cerpen, bagaimana kekuatan cerpen pada rangkaian peristiwa dirangkai dalam jalinan alur yang memperlihatkan kausalitas, kalian diajak untuk menelaah rangkaian proses kreatif penulisan cerpen “Perihal Orang Miskin yang Bahagia”.

Bacalah cerpen berikut dengan saksama. Kemudian kerjakanlah tugas berikut secara berkelompok. Tiap kelompok terdiri atas 3 hingga 5 orang.

Perihal Orang Miskin yang Bahagia
Cerpen Agus Noor

1.
“AKU sudah resmi jadi orang miskin,” katanya, sambil memperlihatkan Kartu
Tanda Miskin, yang baru diperolehnya dari kelurahan. “Lega rasanya, karena
setelah bertahun-tahun hidup miskin, akhirnya mendapat pengakuan juga.”
Kartu Tanda Miskin itu masih bersih, licin, dan mengkilat karena dilaminating.
Dengan perasaan bahagia ia menyimpan kartu itu di dom­petnya yang lecek dan
kosong.
“Nanti, bila aku pingin berbelanja, aku tinggal menggeseknya.”

2.
Diam-diam aku suka mengintip rumah orang mis­kin itu. Ia sering duduk melamun,
sementara anak-anaknya yang dekil bermain riang me­nahan lapar. “Kelak, mereka
pasti akan men­adi orang miskin yang baik dan sukses,” gumamnya.
Suatu sore, aku melihat orang miskin itu me­ ik­ ati teh pahit bersama istrinya.
Kudengar orang miskin itu berkata mesra, “Ceritakan ki­ ah paling lucu dalam
hidup kita....”
Mereka pun tertawa.

3.
Aku selalu iri menyaksikan kebahagiaan me­reka.
“Ialah ketika aku dan anak-anak begitu kelaparan, lalu menyembelihmu,” jawab
istrinya.
Orang miskin itu dikenal ulet. Ia mau bekerja serabutan apa saja. Jadi tukang
becak, kuli angkut, buruh bangunan, pemulung, tukang parkir. Pendeknya, siang
malam ia membanting tulang, tapi alhamdulillah tetap miskin juga. “Barangkali
aku memang turun-temurun dikutuk jadi orang miskin,”ujarnya, tiap kali ingat
ayahnya yang miskin, kakeknya yang miskin, juga si mbah buyutnya yang miskin.
Ia pernah mendatangi dukun, berharap bisa mengubah garis buruk tangannya.
“Kamu memang punya bakat jadi orang miskin,” kata dukun itu. “Mestinya kamu
bersyukur, karena tidak setiap orang punya bakat miskin seperti kamu.”
Kudengar, sejak itulah, orang miskin itu berusaha konsisten miskin.

4.
Pernah, dengan malu-malu, ia berbisik pada­ u. “Kadang bosan juga aku jadi
orang miskin. Aku pernah berniat memelihara tuyul atau babi ngepet. Aku pernah
juga hendak jadi pelawak, agar sukses dan kaya,” katanya. “Kamu tahu kan, tak
perlu lucu jadi pelawak. Cukup bermodal tampang bego dan mau dihina-hina.”
“Lalu kenapa kau tak jadi pelawak saja?”
Ia mendadak terlihat sedih, lalu bercerita, “Aku kenal orang miskin yang jadi
pelawak. Ber­ ahun-tahun ia jadi pelawak, tapi tak pernah ada yang tersenyum
menyaksikannnya di panggung. Baru ketika ia mati, semua orang tertawa.”

5.
Orang miskin itu pernah kerja jadi badut. Kos­tumnya rombeng, dan menyedihkan.
Setiap meng­hibur di acara ulang tahun, anak-anak yang menyaksikan atraksinya
selalu menangis ketakutan.
“Barangkali kemiskinan memang bukan hi­buran yang menyenangkan buat anak-
anak,” ujarnya membela diri, ketika akhirnya ia dipecat jadi badut.
Kadang-kadang, ketika merasa sedih dan la­par, orang miskin itu suka mengibur
diri di depan kaca dengan gerakan-gerakan badut paling lucu yang tak pernah
bisa membuatnya tertawa.

6.
Orang miskin itu akrab sekali dengan lapar. Se­ iap kali lapar berkunjung, orang
miskin itu selalu mengajaknya berkelakar untuk sekadar me­lupakan penderitaan.
Atau, seringkali, orang mis­ in itu mengajak lapar bermain teka-teki, untu­k
menghibur diri. Ada satu teka-teki yang selalu diulang-ulang setiap kali lapar
da­tang ber­tandang.
“Hiburan apa yang paling menyenangkan ke­ ika lapar?” Dan orang miskin itu
akan menja­wabnya sendiri, “Musik keroncongan.”
Dan lapar akan terpingkal-pingkal, sambil menggelitiki perutnya.

7.
Yang menyenangkan, orang miskin itu memang suka melucu. Ia kerap
menceritakan kisah orang miskin yang sukses, kepadaku. “Aku punya kolega
orang miskin yang aku kagumi,” katanya. “Dia merintis karier jadi pengemis
untuk membesarkan empat anaknya. Sekarang satu anaknya di ITB, satu di UI,
satu di UGM, dan satunya lagi di Undip.”
“Wah, hebat banget!” ujarku. “Semua kuliah, ya?”
“Tidak. Semua jadi pengemis di kampus itu.”

8.
Orang miskin itu sendiri punya tiga anak yang ma­sih kecil-kecil. Paling tua
berumur 8 tahun, dan bungsunya belum genap 6 tahun. “Aku ingin mereka juga
menjadi orang miskin yang baik dan benar sesuai ketentuan undang-undang.
Setidaknya bisa mengamalkan kemiskinan me­eka secara adil dan beradab
berdasarkan Pan­casila dan UUD 45,” begitu ia sering berkata, yang kedengaran
seperti bercanda. “Itulah sebabnya aku tak ingin mereka jadi pengemis!”
Tapi, seringkali kuperhatikan ia begitu bahagia, ketika anak-anaknya memberinya
recehan. Hasil dari mengemis.

9.
Pernah suatu malam kami nongkrong di wa­rung pinggir kali. Bila lagi punya uang
hasil anak-anaknya mengemis, ia memang suka me­manjakan diri menikmati kopi.
“Orang miskin per­u juga sesekali nyantai, kan? Lagi pula, be­gitulah nikmatnya
jadi orang miskin. Punya ba­nyak waktu buat leha-leha. Makanya, sekali-kali,
cobalah jadi orang miskin,” ujarnya, sam­bil menepuk-nepuk pundakku. “Kalau
kamu miskin, kamu akan punya cukup tabungan pen­de­ritaan, yang bisa digunakan
untuk membia­yaimu sepanjang hidup. Kamu bakalan punya cadangan kesedihan
yang melimpah. Jadi kamu nggak kaget kalau susah.” Kemudian pelan-pe­lan ia
menyeruput kopinya penuh kenikmatan.
Saat-saat seperti itulah, diam-diam, aku suka mengamati wajahnya.

10.
Wajah orang miskin itu mengingatkanku pada wajah yang selalu muncul setiap
kali aku berkaca. Dalam cermin itu kadang ia menggodaku dengan gaya badut
paling lucu yang tak pernah membuatku tertawa. Bahkan, setiap kali ia meniru
gerakanku, aku selalu pura-pura tak melihatnya.
Pernah, suatu malam, aku melihat bayangan orang miskin itu keluar dari dalam
cermin, ber­jalan mondar-mandir, batuk-batuk kecil minta diperhatikan. Ketika
aku terus diam saja, kulihat ia kembali masuk dengan wajah kecewa.
Sejak itu, bila aku berkaca, aku kerap melihat­nya tengah berusaha menyembunyikan
isak ta­ngisnya.

11.
Ada saat-saat di mana kuperhatikan wajah orang miskin itu diliputi kesedihan.
“Jangan sa­lah paham,” katanya. “Aku sedih bukan ka­rena aku miskin. Aku sedih
karena banyak se­ ali orang yang malu mengakui miskin. Banyak sekali orang
bertambah miskin karena selalu berusaha agar tidak tampak miskin.”
Entah kenapa, saat itu mendadak aku merasa ki­kuk dengan penampilanku yang
perlente. Se­ ak itu pula aku jadi tak terlalu suka berkaca.

12.
Bila lagi sedih orang miskin itu suka datang ke pengajian. Tuhan memang bisa
menjadi hiburan menyenangkan buat orang yang lagi kesusahan, katanya. Ia akan
terkantuk-kantuk sepanjang ceramah, tapi langsung semangat begitu makanan
dibagikan.
Ada lagi satu cerita, yang suka diulangnya padaku:
Suatu malam ada seorang pencuri menyatroni rumah orang miskin. Mengetahui
hal itu, si miskin segera sembunyi. Tapi pencuri itu memergoki dan membentaknya,
“Kenapa kamu sembunyi?” Dengan ketakutan si orang miskin menjawab, “Aku
malu, karena aku tak punya apa pun yang bisa kamu curi.”
Ia mendengar kisah itu dalam sebuah pengajian. “Kisah itu selalu membuatku
punya alasan untuk bahagia jadi orang miskin,” begitu ia selalu mengakhiri cerita.
Orang miskin itu pernah ditangkap polisi. Saat itu, di kampung memang terjadi
beberapa kali pencurian, dan sudah sepatutnyalah orang miskin itu dicurigai.
Ia diinterogasi dan digebugi. Dua hari kemudian baru dibebaskan. Kabarnya
ia diberi uang agar tak menuntut. Berminggu-minggu wajahnya bonyok dan
memar. “Begitulah enaknya jadi orang miskin,” katanya. “Di­ut­duh mencuri,
dipukuli, dan dikasih duit!”
Sejak itu, setiap kali ada yang kecurian, orang miskin itu selalu mengakui kalau
ia pelakunya. De­ngan harapan ia kembali dipukuli.

Banyak orang berkerumun sore itu. “Ada yang mati,” kata seseorang. Kukira
orang miskin itu te­was dipukuli. Ternyata bukan. “Itu perempuan yang kemarin
baru melahirkan.
“Tak gampang memang jadi orang miskin,” ujar orang miskin itu. “Hanya orang
miskin ga­dungan yang mau mati bunuh diri. Untunglah, sekarang saya sudah
resmi jadi orang miskin,” ujarnya sembari menepuk-nepuk dompet di pantat
teposnya, di mana Kartu Tanda Miskin itu dirawatnya. “Ini bukti kalau aku
orang miskin sejati.”

Menelaah Proses Kreatif Menulis Cerpen “Perihal Orang Miskin yang Bahagia”



(1) Dalam menulis cerpen, ide merupakan masalah yang bersumber dari peristiwa ataupun benda. Masalah dalam cerpen dipecahkan dengan logika fantasi dan imajinasi. Cerpen mempunyai ruang yang luas untuk mengembangkan imajinasi dan fantasi dalam memecahkan persoalan sebagai sumber ide cerpen.

Setelah kalian membaca cerpen “Perihal Orang Miskin yang Bahagia”, cobalah kalian ceritakan bagaimana kira-kira Agus Noor sebagai pengarang melakukan pencarian ide terhadap karyanya itu. Kalian bisa memulainya dari masalah yang diangkat pengarang. Masalah sebagai sumber ide dalam menulis cerpen adalah ketertarikan pengarang pada fenomena atau benda yang membangkitkan rasa ingin menulis.

(2) Jika ide dan persoalan sudah didapat, selanjutnya adalah memikirkan jawaban atas persoalan itu. Tahapan ini disebut pengendapan atau pengolahan ide. Jika sudah mendapatkan ide dan merumuskan masalahnya, hal yang dilakukan berikutnya adalah memikirkan logika cerita dan jawabannya. Logika jawaban itu bisa diperoleh dengan pengetahuan dan imajinasi. Selain itu, logika juga bisa dibangun dengan dasar budaya, ilmu pengetahuan, dan sebagainya yang akan memperlihatkan kualitas sebuah cerpen. Oleh sebab itu, sebelum menulis cerpen, pengarang biasanya melakukan riset.

Menurut kalian, bagaimana Agus Noor melakukan tahapan pengolahan idenya? Diskusikan dengan teman sekelompok kalian, lalu bandingkan hasil diskusi kalian dengan kelompok lain.

(3) Jika ide dan permasalahannya sudah terpecahkan melalui pengendapan atau pengolahan ide yang menghasilkan logika jawaban atau alur peristiwa, tahap selanjutnya adalah menuliskannya perlahan hingga selesai. Setelah kalian membaca cerpen “Perihal Orang Miskin yang Bahagia” itu, dapatkah kalian temukan kelogisan berpikir dalam memecahkan masalah yang dituangkan Agus Noor dalam cerpennya? Diskusikanlah!



Sumber : Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik, Maryanto dkk



No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.