Friday 7 November 2014

Kali ini kita akan membahas tentang Mengurai Peristiwa pada Cerpen “Paing”. Semoga artikel ini bermanfaat, aamiin.

Mengurai Peristiwa pada Cerpen “Paing”


Paing 
Edi Haryono

TIBA di Jakarta pertama kali ia nyangkut di bengkel me­bel dan bekerja sebagai buruh harian. Majikannya lekas jatuh simpati karena ia rajin dan jujur. Ia diajari menabung di sebuah bank. Meski kecil, ia setorkan upahnya tiap minggu. Benarlah kata teman-temannya, ia ulet bagai rotan. Belum dua tahun, ia sudah memboyong istri dan seorang anaknya dari kampung. Teman-temannya melongo, mengakui tak mampu seberani itu.

Istrinya gembira bukan kepalang, selama ini mengira suaminya sudah melupakannya, sudah jadi orang kota, dan terbukti omongan para tetangganya itu salah sama sekali. la belai anaknya dan bisikkan pujian tentang bapaknya.

Sementara menumpang di rumah majikannya ia menjadi tukang cuci dan seterika. Ia ambil pakaian orang lain untuk menambah penghasilan. Di situ pula anaknya tumbuh sehat, ketika dibuka pendaftaran sekolah, ia masukkan anaknya ke sekolah negeri agar kelak nasibnya lebih baik dari dirinya sendiri.

Tahun demi tahun ditempuhnya dengan penuh kesadar­an meningkatkan diri, tidak baik terus menerus di rumah orang, lebih-lebih setelah istrinya mengaku sedang hamil lagi. Ia menghadap majikannya, ia memutuskan untuk man­diri.

“Itu niat yang baik, Paing. Meski aku sangat kehilangan, karena kalian sudah kuanggap famili sendiri. Tetapi jangan khawatir, tempatmu pasti akan diisi orang lain. Masih banyak orang berderet mengincar pekerjaanmu,” ujar majikan­ ya.

Bersama anak-istri ia mengangkut barangnya ke kamar petak yang bisa disewa per bulan. Ia mulai melirik untuk menjadi penjual buah-buahan.

Sebelum subuh ia pergi ke pasar, menghadang para teng­kulak menurunkan dagangannya. la cari akal bagaimana caranya bisa berjualan tanpa harus mengeluarkan banyak modal. Ia menghadapi orang-orang yang sangar dan sangat licin. Ya, kelicinan seperti itu ia merasa belum bisa. Syukur, akhirnya ia berhasil meyakinkan para tengkulak itu dan menggelar buah-buahan titipan. Sedikit bisa bernafas, seri­bu dua ribu bisa ia bawa pulang.

Di kamar itu istrinya juga terus menabung. Tiap hari ia sisihkan belanjanya; beras segenggam, gula sesendok, mi­nyak seklenting dan apa saja yang bisa disimpan di kolong dipannya. Ketika anaknya minta sunat, ia keluarkan semua­ nya untuk membuat kue serta berbagai hidangan. Dengan demikian anaknya bangga dapat layak seperti teman-teman sekelasnya.

***

Namun benar kata orang, cobaan selalu menimpa siapa saja. Di pasar jualannya kena gusur. Ia termasuk pedagang kaki lima yang kena penertiban. Tubuhnya lemas, istrinya pun cemas. "Apa perlu dikeroki?” hibur istrinya.

Ia mengangguk lunglai. “Pedagang-pedagang lain mam­pu menyewa kios, tetapi kita...?”

“Sabar, Kang. Percaya saja pada yang memberi hidup. Jangan gampang putus asa. Namanya saja hidup mandiri, ya beda dengan hidup mengabdi.”

Ia heran pada istrinya, “Kok sekarang kamu sudah pintar ngomong?” Lho, sampeyan sendiri tho yang ngajari! Ingat nggak, waktu kita mau pindah ke sini, sampeyan bilang; hidup jadi buruh mebel sama saja dengan hidup mengabdi pada maji­kan. Sekeras-kerasnya kita kerja, majikanlah yang mulia. Ingat nggak? “Ya. Aku ingat,” jawabnya sambil terus menikmati kerok­an.

“Lalu sampeyan juga bilang; lebih baik hidup mandiri, jadi kere atau raja yang mulai kita sendiri. Susah, sekarang sampeyan tidur, besok bisa cari usaha lain.”

Sejak lahir ia terbiasa bangun pagi, sebelum didahului oleh matahari. Istrinya telah menyiapkan teh panas manis dan kental. Ia hirup dalam-dalam. Kehangatan merayapi seluruh tubuh. Gairah hidupnya menyala kembali.

Ia melangkah menyusuri lorong-lorong pasar. Ia amati tingkah laku ibu-ibu yang sedang belanja. Rupanya hampir semua mengeluh dengan hilangnya becak. Lalu esoknya lagi ia berjalan melewati rumah juragan bajaj. Tampak banyak bajaj baru. Sopir-sopir pada jongkok dan bergerombol me­nunggu. “Mereka sudah siap narik sepagi ini?” tanyanya pada diri sendiri. “Pasti mereka butuh sarapan!” Muncul sebuah gagasan. Lekas ia teliti sekitarnya, ternya­ta belum seorang pun berjualan di situ. Ia girang dan buru­ buru pulang menemui istrinya. Lalu berdua lari ke sana ke mari menyiapkan segala sesuatunya. Tengah malam istrinya memasak nasi uduk dan lauk-pa­uknya. Juga menggoreng tahu, tempe, dan pisang. Sebelum matahari nongol ia berangkat dan siap melayani pembeli. Dugaannya tak secuil pun meleset. Sopir-sopir berebut mengisi perutnya. Ia bernafas lega.

Angan-angannya untuk memperoleh anak perempuan juga terkabul. Istrinya melahirkan anaknya yang ketiga de­ngan mules di rumah bidan. Untuk sementara ia serahkan jualan pada orang lain untuk membantu istrinya.

Mengurai Peristiwa pada Cerpen “Paing”Namun, ketika ia akan mulai jualan lagi terkejut bukan main. Tempatnya telah dikuasai oleh teman yang semula sangat dipercaya. Bahkan sudah diubah dengan peralatan yang lebih permanen; tenda, gerobak, dan bangku-bangku. Ia telah dikhianati. Marah seperti orang gila. Sungguh heran, temannya kalem- kalem saja. Ia ingin berkelahi, tetapi bu­ru-buru sadar, tidak bisa berkelahi. Ia jadi pecundang. Pu­kulan hebat menghantamnya. Ia roboh kesakitan.

Siapa lagi yang bisa cari nafkah, yang bisa memberi ke­perluan-keperluan bayi? Anaknya? Tidak, dia baru kelas II SMP. Lagi pula jangan anaknya meniru nasibnya menjadi pedagang kere.

“Biar aku yang jalan, kang. Aku sudah cukup kuat!” ujar istrinya. “Aku akan ke rumah orang-orang yang dulu mencu­cikan pakaiannya. Barangkali mereka ada yang bisa meno­longmu mencarikan pekerjaan.”

Ia mengangguk lemas. Maka, sambil menggendong ba­yinya yang masih merah, istrinya melangkah ke luar rumah. Tetangga-tetangga yang melihatnya menaruh iba tapi tak bisa berbuat apa-apa.

Sambil berjalan pikirannya terus berputar, siapa lagi yang bisa ia datangi. Sudah dua hari tak ada secuil pun gelagat orang bisa menolongnya. Hanya kepercayaan pada yang memberi hiduplah yang membuatnya masih mampu ber­tahan. Ia yakin pertolongan itu pasti datang. Tiba-tiba ia ingat rumah di pojok jalan itu, rumah tante pelatih senam. Sudah lama ia tidak pernah ke sana. Ya, sejak tante punya pembantu baru.

Di muka rumah itu ia berhenti. Sejenak hatinya gundah. Pintunya tertutup. Mungkin tante sedang tidak di rumah. Ia banyak memiliki teman dan relasi. “Biarlah kutunggu, sedikit merepotkan tak apa-apa toh ini sangat perlu!” pikirnya. Lalu hati-hati ia ketuk pintu.

“Mau cari siapa?” sapa pembantu.

“Tante ada?” tanyanya sambil membuka tutup bayi dalam gendongannya supaya tidak gerah. “Oh, sedang istirahat, baru saja pulang. Akhir-akhir ini Tante sibuk sekali.”

“Cobalah sampaikan padanya. Saya perlu sekali.” Pembantu ragu-ragu. Matanya meneliti, melihat pada bayi. “Ya, tunggu dulu ya!”

Ia duduk di kursi. Pegal-pegal di pahanya ia kendorkan. “Ada apa? Oh, ini ya bayinya yang baru lahir itu? Aduh, kenapa jadi begini?” ujar tante tergopoh- gopoh.

Ia berusaha tetap tabah. Ia angkat wajahnya lalu pelan-­pelan ia utarakan maksudnya. Dahi tante berkerenyit.

“Sebentar, aku ingat-ingat dulu... Siapa ya yang kemarin dulu... ah, mau Paing jadi tukang kebun?” ujar tante tiba-tiba.

“Tentu saja mau sekali!” jawabnya cepat. Harapannya mekar kembali. “Kalau nggak salah temanku yang jadi peragawati. Dia bilang tukang kebunnya pergi dan butuh tukang kebun ba­ru. Banyak tanamannya yang mahal-mahal mati, sayang benar, aku sering ke sana dan... benar Paing mau? Dipikirlah dulu, sebab tempatnya jauh di Jakarta Selatan sana.” “Nggak apa-apa Tante. Apalagi Kang Paing dulu petani, pasti gampang mengurus kebun!” jawabnya meyakinkan.

“Soal gaji pasti lumayan. Orangnya kaya sekali. Suaminya ahli minyak dari Amerika. Sekarang saja aku ngebel dia su­paya tidak didahului orang lain.”

Tante beranjak ke meja telepon. Ia pura-pura tidak men­dengarkan pembicaraan itu. Tetapi diam-diam telinganya dibuka lebar-lebar. Sudah terbayang kesulitannya akan ber­akhir. Telinganya menangkap pembicaraan soal gaji. Ham­pir saja ia melonjak gembira, “Oh, Sembilan puluh ribu!” Untung cepat ditahannya. Belum selesai tante meletakkan gagang telepon, seakan-akan ia sudah tahu semuanya. Bu­kan main girang hatinya. Ia tak tahan lagi berlama-lama di situ. Ia ingin cepat berlari menemui suaminya.

SEUMUR hidupnya belum pernah Paing masuk rumah sebesar itu. Seluruhnya dikelilingi tembok tinggi. Untuk masuk orang harus memencet bel lebih dulu kemudian me­nunggu di luar gerbang. Sebuah kotak lubang terbuka dan muncul mata menelitinya. Setelah yakin siapa tamunya baru­ah gerbang bisa dibuka.

Untung ia datang diantar Tante.

Penjaga gerbang memberi hormat mempersilakan masuk. “Tante sudah ditunggu nyonya di teras belakang,” ujarnya sopan.

Tante melenggang menuju pintu bangunan utama. Ia terus mengintil di belakang. Seekor anjing lagi numprah di teras depan.

“Jangan takut, Lesi lembut seperti wanita.”

“Lesi! Lesi!” sapa tante. Anjing berdiri dan Paing undur dua tindak, “Edan, segede anak sapi!” serunya kaget. Lesi mendekat, mendengus-dengus ke kaki Tante. Lalu berlari mendorong pintu terbuka. Ia takut setengah mati.

Ia ragu-ragu masuk. Ruangan itu luas seperti lapangan. Tampak mebel-mebel besar mewah sekali. la ingat, pasti harganya ratusan juta. Banyak pula perabot antik yang sulit ia bayangkan seperti apa kayanya orang yang punya. Ia melongo dan jadi bego.

“Tunggu saja di situ!” perintah Tante.

Ia melihat Tante berjalan enak saja. Tumit sepatunya mengetuk lantai bergema ke seluruh ruangan. Lesi melon­jak-lonjak kesenangan.

Ia merasa lega harus menunggu di balik pintu. Pikirannya terus melayang-layang ditiup angin sejuk pepohonan di teras itu. Ia terkejut, pundaknya ditepuk orang. Di belakang­nya sudah berdiri perempuan muda.

“Ngalamun ya? Dipanggil-panggil diam saja. Ayo, ikut aku!” perintahnya.

“Kamu mau kerja di sini? Siapa namamu? Jangan kayak tukang kebun dulu!”

“Memangnya kenapa?”

“Huh, nyebelin. Sudah genit orangnya tak tahu diri lagi. Syukur nyonya cepat memecatnya. Ia diusir dari sini?” “Diusir?”

“Terang, habis kerja sembarangan, banyak tanaman mati. Banyak yang hilang, pasti dijual buat beli ganja, suka teler sih!”

Perempuan itu nyerocos terus sama sekali tak memperha­tikannya. Ia sendiri sedang terheran-heran melewati lorong yang sangat panjang. Akhirnya sampai di pintu yang memi­sahkan bangunan utama dengan kebun yang luar biasanya luasnya seperti pegunungan. Ada beberapa pohon rambutan serta tanaman- tanaman bagus, memang sayang tak terurus. Ada juga lereng menuju kolam renang di bawahnya. Di se­belah kolam renang ini barulah tembok tinggi yang memi­sahkan diri dengan kampung di baliknya.

Dari bangunan utama ke kebun ada sebuah teras meman­jang. Di sana tampak Tante bersama peragawati. Duduk di bantal besar dan dikelilingi bantal-bantal kecil yang berwar­na-warni. Peragawati mengenakan singlet serta celana pen­dek kuning, sehingga kulitnya yang mulus sangat kontras dengan sekitarnya. Ketika ia diminta mendekat, tampak majalah-majalah berserakan di hadapannya. Semuanya ber­gambar asing.

Perempuan yang tadi mengantarnya sudah menghilang ke bangunan utama.

“Siapa namamu?” sapa peragawati. la cepat menjawab, tetapi suaranya tercekik. Firasatnya mengatakan sedang menghadapi wanita galak, terbalik sama sekali dengan bayangan semula.

Coba mana KTP-mu.” Ia gemetar mengambil KTP dari dompetnya yang baru disadari ternyata sangat kumal. “Kamu bisa membaca?”

Tiba-tiba tante ikut nimbrung, “Katanya sih lulus SMP. Benar kan Paing?” Ia mengangguk. “Ya, bisa”.

“Bicaralah yang keras. Di sini semua orang omong keras!” tante tertawa. “Di rumah segede ini kalau nggak keras pasti nggak kedengaran.”

“Kamu bisa kerja di sini mulai sekarang. Tak usah pulang setiap hari, bisa habis gajimu buat transpor. Masih ada kamar di samping belakang bisa kamu pakai. Iyem pembantu tadi akan ngasih tahu semuanya.” Peragawati menggeser pantat­nya. “Lihat dari sini, semua tanaman dan kebun kamu urusi tiap pagi dan sore, ditambah tanaman di halaman depan dan sebagian lagi di dalam rumah.” Ia berhenti lagi untuk me­nimbang sesuatu.

“Tanyakan pada Iyem apa saja alatnya dan bagaimana cara memakainya. Untuk merawat tanaman gantung dan bunga di pot kecil, kalau nggak ngerti jangan diam saja, ta­nyalah langsung pada saya. Ingat, semuanya mahal, lebih mahal dari gajimu setahun. Maka, jangan kerja sembarang­an. Meski kamu bekas petani, ngurus tanaman ini lain sama sekali. Paham?!”

Ia mengangguk. Dalam hati ia yakin tak akan kesulitan. Sebenarnya sejak kecil ia paling suka pekerjaan seperti itu. Yang menjadi pikirannya justru soal tinggal di sini, benar tidur dan makan segalanya terjamin, namun berarti tak ada lagi kesempatan ngobrol dengan istri dan waktu untuk mengawasi anak-anaknya.

***

DALAM waktu kurang dua minggu saja kebun sudah berubah indah. Tanaman serta bunga-bunga memancar segar. Rumput di lereng terpangkas rapi. Beberapa kran dan peralatan yang rusak diperbaiki sendiri. Semua tampak teratur dan rapi. Pekerjaan pun cepat ia rampungkan sehingga banyak waktu untuk istirahat.

Tetapi rupanya hal ini malah menerbitkan kecemburuan pembantu-pembantu yang ting­gal sama-sama di situ. Mereka hampir tak pernah bisa istira­hat, dari pagi hingga tengah malam ada saja perintah me­ngerjakan tetek-bengek.

Peragawati dan suaminya semakin memberi kepercayaan lebih. Ia mulai kecipratan pekerjaan lain; membereskan sisa-sisa pesta. Boleh dibilang hampir tiap malam datang beramai-ramai teman peragawati atau orang-orang kulit putih ngobrol dan makan minum sampai larut menjelang pagi. Dari bar dalam rumah sampai gubuk di pinggir kolam berserak gelas, kaleng minuman, dan makanan yang semua­nya mahal. “Pasti harganya lebih dari gajiku setahun. Alang­kah murahnya barang mewah ini,” pikirnya.

Tetapi ia tetap menjaga kejujurannya. Sekali pun tak berani coba-coba berpesta sendiri. Sering barang tertinggal begitu saja; korek api emas, kaset, bahkan perhiasan yang lupa dipakai lagi setelah renang atau sudah terlalu teler, semuanya itu ia laporkan pada nyonya. Anehnya, kepolos­annya ini sering menjadi bahan tertawaan pembantu lain dan sopir-sopir, yang menganggapnya goblok tak bisa me­manfaatkan suasana.

“Paing!” teriak Iyem, “Kamu dipanggil nyonya!”

“Sebentar, tinggal sedikit pekerjaan ini.”

“Nyonya minta cepat.”

Ia menghela nafas, tak puas dengan perintah yang selalu mencampur-adukkan berbagai pekerjaan. Ia masuk ke da­lam. Peragawati tengah bicara di telepon dengan suaminya di kantor. “Ya, right! Okey!” telepon diletakkan.

“Paing, kamu ganti pakaian dulu lalu ke bank ngambil uang. Tuan akan ke Abu Dhabi nanti sore. Sebentar lagi mobilnya dari kantor akan datang mengantarmu.

Ingat, ha­rus kamu sendiri yang ngambil. Bawa KTP-mu. jangan sekali-kali menyerahkannya pada sopir. Dia tidak bisa dipercaya. Kaset-kaset dan kacamata di mobil suka ilang.”

Peragawati minta diambilkan tas berisi buku dan bebera­pa rol film. “Sebelum ke bank kamu ke Kemang dulu mem­fotokopi buku dan cuci-cetak film ini. Tinggal saja di sana. Setelah dapat uang dari bank kembalilah membayar fotoko­pi dan foto. Lalu ke laundry ngambil pakaian tuan sekalian membayar tagihan minggu lalu. Suruh sopir cepat ke kantor menjemput tuan. Bilang, jangan mampir-mampir. Kamu sendiri kembali ke sini naik taksi. Paham?!”

Ia tenggelam di dalam mobil kelas satu. Di tangannya segepok uang dari bank, jumlahnya berlipat-lipat gajinya sendiri. “Alangkah kecil diriku, gajiku cuma sekali biaya ke laundry pun belum cukup!” hati kecilnya teraduk-aduk. Sementara itu di sebelahnya sopir dibakar cemburu dan marah. Mulutnya ngocol terus. Dia akan melawan siapa saja yang mencurigai dan memfitnahnya sebagai pencuri. Dia siapkan golok di bawah bagasi mobil.

Ketika akhir bulan semua dikumpulkan, dari pembantu sampai sopir. Satu persatu dipanggil untuk menerima gaji. Tiba pada giliran dia segalanya terasa hambar. Ia yakin isi amplop itu jumlahnya pas seperti didengar istrinya di tele­pon rumah tante.

Ia serahkan amplop itu pada istrinya. Anak-anaknya menghambur penuh kerinduan. Suka-cita membayang di wajah mereka. Ia sendiri hambar.

“Ada apa, kang?” selidik istrinya.

Ia menggertakkan gigi, “Besok...”

“Mau kembali pagi sekali, ya?”

“Aku ingin ke pasar lagi, berkelahi!”

Bela Studio, 18 November 1991


Sumber : Bahasa Indonesia Ekspresi Diri dan Akademik, Maryanto dkk



No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.