Monday, 25 January 2016

Kali ini kita akan membahas tentang Contoh Kalimat Menggunakan Kata "kakek". Semoga artikel ini bermanfaat, aamiin.

Contoh Kalimat Menggunakan Kata "kakek"


Bagaimana membuat kalimat dengan menggunakan kata "kakek" dalam bahasa Indonesia? Dengan melihat dan mempelajari contoh-contoh kalimat dari kata "kakek", kita akan terbantu untuk memahami arti dan pengertian dari kata tersebut. Perlu juga kalian pahami bahwa arti dan makna kata tersebut bisa berbeda untuk kalimat-kalimat yang tidak sama.

Untuk lebih jelasnya, contoh kalimat yang menggunakan kata "kakek" dapat dilihat pada beberapa kalimat yang dikumpulkan dari berbagai sumber di internet seperti berikut ini.
Membuat Kalimat dari kata

Contoh-contoh Kalimat yang Menggunakan Kata "kakek"

  1. Mana kakek satunya si Tua Gila itu!
  2. Tapi kakek itu menjadi lebih marah lagi.
  3. Kiranya kakek itu tadi datang berperahu.
  4. Apa salahnya ia menuruti pesan kakek itu.
  5. Yang pertama seorang kakek bermuka tirus.
  6. Tiba-tiba kakek ini gerakkan tangan kanannya.
  7. Si kakek masih memandang dengan mata mendelik.
  8. Juga kakek timpang itu terkejut setengah mati.
  9. Sepasang kakek nenek itu mulai kehabisan napas.
  10. "Jangan, Indu!" kembali kakek tua itu mencegah.
  11. Si kakek menatap sesaat pada Wiro lalu menjawab.
  12. "Ya, kabarnya kakek Neng Rani usahanya bangkrut.
  13. Kelak kakek ini diangkat menjadi Patih Kerajaan.
  14. Si kakek serahkan cermin bulat pada Ratu Duyung.
  15. Tersentuh hati kakek yang sudah lanjut usia itu.
  16. Tempat ini seperti neraka! bisik kakek baju biru.
  17. Bolehkah aku mengetahui nama kakek yang bijaksana?"
  18. Tentu saja kakek itu terkejut dan heran bukan main.
  19. Cu Goan Ciang melangkah maju menghampiri kakek itu.
  20. Si kakek lantas saja goyangkan kalengnya tiada henti.
  21. "Ah, kiranya Bouw In Hwesio!" kini kakek itu berseru.
  22. Ada dukun yang sakti yang pernha menolong kakek dulu.
  23. ini, kakek berpakaian biru tak mau berlaku ayal lagi.
  24. Tubuhnya lemas ketika dipanggul kakek tinggi kurus itu.
  25. Dikalahkan oleh seorang kakek tua renta yang sudah loyo.
  26. "Mengemis? Ihh, aku tidak sudi mengemis, kakek yang baik.
  27. Melihat kakek itu, Swat-hai Lo-kwi juga tertawa bergelak.
  28. Tiba-tiba ia melihat seorang kakek sedang memancing ikan.
  29. Di bawah perut ke dua kakek ini memang tidak ada apa-apa.
  30. Kraak! Tongkat kakek mata putih patah tiga mental ke udara.
  31. Siauw Cu mengangguk, mengerti apa yang dimaksudkan kakek itu.
  32. Siauw Cu mengamati wajah kakek itu dengan muka berubah merah.
  33. Ha ... ha ... ha! Si kakek lalu kenakan jubah Kencono Geni.
  34. Pemuda lain yang juga tegap sedang membantu kakek Coa bangun.
  35. Pada hal dia tahu bahwa kakek pengemis itu belum tentu menang.
  36. Lalu dia juga mengambil Mutiara Setan yang ada pada kakek itu.
  37. Baru kini Keng Han melihat adanya tiga orang kakek itu di situ.
  38. Dia menemukan sesuatu, menemukan kenyataan pada diri kakek itu.
  39. "Kalau begitu, kakek harus melanjutkan cerita yang kemarin itu"
  40. Karena hanya sejam, paling lama dua jam kakek tua itu bercerita.
  41. Sinto Gendeng memperhatikan sikap si kakek dengan muka cemberut.
  42. Berarti dapat dibayangkan berapa sebenarnya usia kakek satu ini.
  43. Han Li merasa bangga bahwa kakek ini mengenal ilmu silat ibunya.
  44. Walaupun sudah di atas 60 tahun, tapi jalan si kakek masih tegap.
  45. Dan mereka kagum melihat sepak terjang kakek brewok raksasa tadi.
  46. Namun dia siap siaga kalau-kalau diserang oleh kakek timpang itu.
  47. Kenapa gurunya begitu takut terhadap kakek timpang yang kejam itu?
  48. Tay-lek Kwi-ong yang ditantang kakek itu agaknya memandang rendah.
  49. Agak mengkal kakek tua tua karena cucunya selalu memutus ceritanya.
  50. Teringat akan kebaikan kakek itu maka dia tadi terharu dan menangis.
  51. Ketika Siauw Cu memandang ke arah kakek pengemis itu, dia tersenyum.
  52. Sekarang kakek itu agak­nya yang menyuruh anak buahnya me­nawannya.
  53. "Tidak perlu bertanya, ikut saja," kata kakek itu sambil menyeringai.
  54. "Wah, kalau begitu, kakek kelak tentu juga dapat menjelma hidup lagi.
  55. Yang di sebelah kanan adalah seorang kakek yang buntung kedua kakinya.
  56. Ketika dia hendak bergerak pergi tiba-tiba kakek bermuka biru berkata.
  57. Niat jahat untuk membunuh saja dua kakek ini segera muncul di benaknya.
  58. Seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang segera di­kenalnya.
  59. Ibu pernah bilang, itu merupakan pemberian kakek yang sangat ibu sukai.
  60. Dia keluar dari balik batu menegur dan dia lalu dipukul oleh kakek itu.
  61. Hanya sepasang matanya memandang membeliak pada kakek bermuka biru itu.
  62. "Engkau benar dan lakukanlah!" kata kakek pengemis itu sambil tersenyum.
  63. Dari pakaiannya saja sudah dapat diduga bahwa kakek ini seorang pengemis.
  64. Heran! Waktu di pulau tempo hari, kakek ini mengaku bernama Wiro Sableng.
  65. Tetapi baru ia hendak membuka mulut, kakek tua itu sudah mulai bercerita:
  66. Paling dalam jubah yang dikenakan kakek jahat itu hanya sebatas pinggang.
  67. Keng Han meloncat ke depan meng­hampiri kakek raksasa berambut putuh itu.
  68. Mendengar ini, kakek itu dan puteri­nya segera menjatuhkan diri berlutut.
  69. Yang pertama yang kumisnya panjang masih mencoba untuk membujuk kakek itu.
  70. "Tentu saja aku mau, Kek. Akan tetapi...." Ia memandang pakaian kakek itu.
  71. Semua telah menjadi milik Hartawan Ji!" kata kakek Coa dengan sikap marah.
  72. Ternyata kaki kiri kakek ini timpang sehingga jalannya terpincang-pincang.
  73. Mereka tahu persis betapa si Roy haus kasih sayang seorang kakek dan nenek.
  74. Pada saat itu, nampak sinar kecil merah menyambar ke arah kakek raksasa itu.
  75. Kiranya kakek tadi lebih dahulu menyelidiki di mana adanya dapur istana itu.
  76. Ketika kakek itu melihat Han Li, matanya terbelalak dan mulutnya menyeringai.
  77. Tak lama kemudian dia melihat dua orang kakek berjalan dengan langkah panjang.
  78. Setelah duduk berhadapan kakek itu melanjutkan pula ceritanya tentang Ken Arok.
  79. Salahkah itu? Dia menoleh dan melihat betapa kakek itu tersenyum pada tidurnya.
  80. Agaknya kakek itupun maklum bahwa keadaan dia dan Siauw Cu tidak menguntungkan.
  81. Goan Ciang tersenyum, mengangguk, lalu diapun duduk bersila di depan kakek itu.
  82. Baiklah aku kemari untuk mendengarkan cerita kakek itu" kata Dipa seorang diri.
  83. Mendengar ucapan kakek dan cucunya itu, hati Goan Ciang merasa lega dan senang.
  84. Urusan apa sebenarnya yang berlangsung saat ini?! kakek berbaju biru menyeletuk.
  85. "Jang Mumu? Aduh, Kakek sudah lama pisan tidak melihat ujang," si kakek gembira.
  86. Bagaimana kalau kedua orang kakek iblis tadi masih berada di sekitar tempat ini?
  87. Akan tetapi dengan te­nang sekali kakek itu menggerakkan tong­katnya menangkis.
  88. Dia berusaha bangkit tapi kaki kanan si kakek tahu-tahu sudah menginjak lehernya.
  89. Kembali kakek itu tertawa, "Ha-ha-ha, kulihat engkau tadi masuk lalu keluar lagi.
  90. Dan kakek itu memang sedang memberi petunjuk kepada Mimi dengan seruan-seruannya.
  91. Bagaikan dua ekor rajawali, dua orang kakek itu mulai bergerak dan saling serang.
  92. Ketika melihat seorang kakek berpakaian tambal-tambalan, dia mengerutkan alisnya.
  93. Akan tetapi, muncullah Coa Kun dan sepasang kakek nenek yang tadi kehabisan napas.
  94. Akan tetapi kakek itu hanya tertawa dan sama sekali tidak mengelak atau menangkis.
  95. "Heh-heh-heh, tanyalah, orang muda." Kata kakek itu, tidak kikuk disebut locianpwe.
  96. Pemuda itu mengangkat muka, memandang kakek itu dengan sinar mata tajam menyelidik.
  97. Mata si kakek muka biru ternyata hanya merupakan sepasang rongga kosong menyeramkan.
  98. Wuuuttttt.... desssss....! Akibatnya, tubuh kakek raksasa itu terpental ke belakang.
  99. Ingin ia sesungguhnya untuk bertanya, tetapi ia takut kakek itu tak mempedulikannya.
  100. Akan tetapi engkau harus sungguh-­sungguh melawanku, seperti kau melawan kakek tadi!
  101. Cu Goan Ciang dan Shu Ta menoleh, demikian pula kakek itu dan dua orang tukang pukul.
  102. Liang Cun sebenarnya bu­kan seorang kakek biasa yang sekedar pandai ilmu silat saja.
  103. "Engkau tahu benar bahwa kita meninggalkan kakek di sana bukan karena kita takut mati.
  104. Namun, menghadapi permainan pedang Han Li, kakek itu menjadi sibuk dan kewalahan juga.
  105. Keng Han terkejut sekali dan meman­dang kepada kakek timpang itu dengan alis berkerut.
  106. Selamat jalan!" kata kakek itu yang lalu membalikkan tubuhnya meninggalkan muridnya itu.
  107. Lima orang koki itu terbelalak ketika melihat seorang gadis cantik melindungi kakek itu.
  108. Sementara itu, Keng Han melihat bahwa kakek yang terluka parah itu ada­lah Gosang Lama.
  109. Dengan gerakan cepat, Keng Han sudah menyerang kakek itu dengan kepalan tangan kanannya.
  110. Singgggg....! Pedang di tangan Tao Seng menyambar dahsyat menusuk ke arah dada kakek itu.
  111. Pada saat itu dari dalam melayang keluar tiga orang kakek yang membentak, "Bocah lancang.
  112. Dengan tangan kirinya ia mendorong pundak kakek itu sambil mengerahkan tenaga sinkangnya.
  113. Selagi orang ramai meraya­kan pesta itu, datanglah dua orang kakek memasuki tempat pesta.
  114. Banyak Perajurit penjaga roboh di tangan kakek ini yang bukan lain adalah Swat-hai Lo-kwi.
  115. Dalam kemerahannya, Han Li lalu menggunakan tangan kanannya untuk menampar dada kakek itu.
  116. Kai-ong memberi isyarat untuk mengikutinya dan kakek itu lalu melayang naik ke atas dapur.
  117. Tentu saja sejak tadi, setelah mendengar disebutnya nama keluarga kakek itu, dia teringat.
  118. "Engkau sudah makan?" tiba-tiba kakek itu bertanya dan wajah Goan Ciang berubah kemerahan.
  119. "Sudah tentu Indu, kakek tentu akan menjelma lagi dalam lingkungan hidupmu" katanya beriba.
  120. Bi-kiam Nio-cu Siang Bi Kiok terkejut bukan main, ia tahu bahwa kakek itu lihai bukan main.
  121. Puncak yang berkabut bayang2 alam dunia seperti yang dikisahkan dalam cerita kakek tua itu.
  122. Sama sekali kakek itu tak mempedulikan Dipa yang saat itu masih duduk di atas segunduk batu.
  123. Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan suara pekik melengking tinggi yang mengejutkan semua orang.
  124. "Kakek, rupanya hari ini kita mujur, mengapa kakek tak mau mencari seekor lagi?" tanya Indu.
  125. "Ini teman-temannya, jang? Ayoh, masuk, jangan asa-asa," ajak si kakek naik ke tangga rumah.
  126. Siapa kenai pada dirimu yang ditutup dengan cadar begitu rupa! jawab kakek berjubah putih de
  127. Bukan maksud kami membuat ribut di tanah kuburan, akan tetapi kakek Coa ini yang keterlaluan.
  128. Ketika tubuh kakek ini tidak terlindung lagi oleh sehelai benang pun maka menjeritlah Anggini.
  129. "Ken Angrok dikemudian hari menjadi raja Singosari yang pertama" sahut kakek tua dengan sabar.
  130. Benar-benar Pulau Hantu....! Dan kakek itu lalu melarikan diri,melompat ke atas sebuah perahu.
  131. Walau sambil terkencing-kencing kakek ini juga ikut berebut pahala kirimkan serangan mematikan.
  132. Dia tahu bahwa menghadapi kakek ini dan juga Yen Yen, dia tidak perlu bersikap sungkan dan ragu.
  133. Sepasang mata yang sayu itu terbelalak dan kakek itu mengamati Siauw Cu dari kepala sampai kaki.
  134. Ini saja menunjukkan bahwa dalam hal gin-kang, kakek itu telah memiliki ilmu yang tinggi sekali.
  135. Dari suara tangis dan tawa dua kakek sakti itu dia sudah tahu kalau mereka berada di pihak lawan.
  136. Dia hendak di­nikahkan dengan gadis cantik itu? Sung­guh keterlaluan sekali peraturan kakek itu.
  137. Cokro Ningrat dan dua kakek hulubalang istana saling berpandangan sejenak lalu tertawa gelak-gelak.
  138. Kiranya aku berhadapan dengan Hwa Kaipang-cu," kata Siauw Cu sambil memberi hormat kepada kakek itu.
  139. Sama sekali keliru semua perkiraannya tadi mengira bahwa kakek itu hidup terlantar, miskin dan papa.
  140. Sedang si kakek tua duduk pejamkan mata menghadap sebatang kail yang ujungnya terbenam dalam sungai.
  141. Tidak lama kemudian, monster itu berubah menjadi sesosok kakek yang ternyata adalah leluhur TRIENTA.
  142. Melihat ini, Pangeran Tao San lalu membantu kakaknya menyerang kakek bertongkat secara membabi buta.
  143. Maka begitu melihat kakek yang memegang dayung baja, dia teringat dan segera menyambut dengan ramah.
  144. Kini melihat Keng Han melompat keluar dan menegur kakek itu, hatinya tentu saja khawatir bukan main.
  145. Lalu kakek berpakaian hitam memberi isyarat pada Wiro agar dia pindah duduk lebih dekat kehadapannya.
  146. Ah, Suhu. Bagaimana keadaanmu? Dia mengguncang pundak kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun itu.
  147. Walau tidak melihat tapi kakek ini diam-diam maklum kalau si nenek tidak suka mendengar kata-katanya.
  148. Sebenarnya Datuk Lembah Akhirat merasa bising dan sangat terganggu dengan tingkah dua kakek aneh ini.
  149. Juga tangkai pancing itu lebih panjang dari pedang sehingga kakek itu lebih leluasa menyerang Han Li.
  150. Dia menganggap kakek itu terlalu som­bong dan terlalu kejam, membunuhi tiga puluh orang begitu saja.
  151. Baru-baru ini dia dan Keng Han dapat meloloskan diri dari pengeroyokan kakek ini bersama anak buahnya.
  152. "Pintu ini terkunci kuat sekali, juga jendela ini agaknya terlalu kuat untuk dijebol." kata kakek itu.
  153. Kemudian dia ter­ingat akan kakek raksasa rambut putih dan ular merah, maka dia cepat bangkit du­duk.
  154. Bi-kiam Nio-cu terkejut setengah mati melihat ulah Keng Han. Ia merasa jerih melihat kakek timpang ini.
  155. Gajah rasakan tenaganya hampir pulih maka pergilah ia ke tepi sungai untuk mendengarkan cerita kakek tua.
  156. Di bawah pemandangannya yang berkaca-kaca dia melihat seorang kakek berkepala botak melangkah mendatangi.
  157. "Indu, jangan mengusik orang" tiba-tiba kakek tua itu berkata "pemusatan pikiranmu masih mudah terganggu.
  158. "Baik, kek. Aku tahu dan jangan khawatir, aku akan selalu berhati-hati seperti yang selalu kakek ajarkan."
  159. Sekonyong-konyong terbanglah seekor burung gagak berputar-putar mengelilingi tempat kakek dan cucunya itu.
  160. Makin memikirkan keadaan kedua kakek dan cucu itu makin besar keinginan Dipa untuk mengetahui diri mereka.
  161. Jangan suka menyinggung perasaan orang" kata kakek tua itu "tak apa kaku hari ini kita tak memperoleh ikan.
  162. Terdengar angin berdesir dan debu mengepul ketika kakek itu memukul dengan tangan kirinya lagi ke arah dada.
  163. Kebetulan sekali, pada waktu Keng Han berusia sepuluh tahun, di daerah itu muncul seorang kakek yang pandai.
  164. Selama mengikuti cerita yang dibawakan kakek tua, pikiran Dipa amat diilhami akan kissah kehidupan Ken Arok.
  165. Ketika mereka tiba di situ kakek yang dikeroyok itu agaknya sudah terluka parah dan sempoyongan hampir roboh.
  166. Wiro dekati orang ini yang ternyata seorang kakek mengenakan celana panjang hitam dan kain sarung di bahunya.
  167. Cepat ia menuruni karang yang menjurus ke tepi sungai dan tampaklah seorang kakek sedang duduk ditepi sungai.
  168. Apa yang diucapkan kakek itu hanya samar-samar saja dapat ditangkap hatinya, namun segera menjadi kabur pula.
  169. Di samping gadis itu berdiri pula seorang kakek berusia enam puluh tahun yang memegang sebatang tongkat bambu.
  170. Saat itu ingin sekali dia menyerang si kakek namun berarti rencana pertolongan atas diri Wiro menjadi tertunda.
  171. Kedua orang kakek itu kini saling berhadapan dan semua orang menahan napas menyaksikan peristiwa yang aneh itu.
  172. Tapi mengapa orang yang katamu mengundang tidak melakukan penyambutan?! membuka suara kakek berpakaian biru muda.
  173. Tiba-tiba kakek itu bangkit dan biarpun tubuhnya kurus bungkuk, kini dia kelihatan penuh semangat dan keberanian.
  174. Sementara itu, Cu In juga sudah menyerang Lo-mo kalang-kabut karena ke­marahannya kepada kakek tinggi kurus ini.
  175. Ketika dia mengalihkan perhatian pada Dewa Ketawa, kakek gendut di atas keledai ini ternyata mengalami nasib sama.
  176. "Keparat busuk! Engkau pemberontak, ya?" bentak si komandan sambil menudingkan telunjuknya kepada kakek brewok itu.
  177. Jurus ke dua.... ke tiga.... ke em­pat....! Souw Cu In menghitung terus jurus-jurus yang dimainkan oleh kakek itu.
  178. "Tranggg.....!" Bunga api berpijar ketika pedangnya menangkis golok yang menyambar ke arah kepala kakek pengemis itu.
  179. Selama lima tahun dia digembleng oleh kakek ini dengan penuh kesungguhan hati dan ka­kek inilah satu-satunya gurunya.
  180. Yang jelas, kalian harus menurut semua kehendakku atau kakek ini akan mati di sini, baru kemudian kalian menyusulnya."
  181. Melihat kakek itu, Cu In terkejut karena dia mengenal kakek itu sebagai Toat-beng Kiam-sian Lo Cit yang amat lihai itu.
  182. Ketika Goan Ciang menarik keras, tubuh kakek raksasa itu tidak mampu bertahan lagi dan diapun roboh terpelanting keras!
  183. Bunuh mereka bertiga! teriaknya ke­pada anak buahnya dan dia sendiri sudah menyerang kakek yang memegang tong­kat itu.
  184. Mendengar ucapan kakek itu, Siauw Cu mengerutkan alisnya dan sinar matanya mencorong ketika menyambar ke wajah gadis itu.
  185. "Aihh, kami berdua adalah sepasang kakek dan nenek yang sudah tua dan loyo," kata Thian Moko dengan suaranya yang tinggi.
  186. Anak perempuan kecil itu menjawab dengan kata2 yang wajar kekanak-kanakan "apakah kelak kakek berkumpul lagi dengan aku?"
  187. Boleh jadi kakek itu merasa puas dan berbahagia, akan tetapi bagaimanapun juga dia hanya seorang kakek pengemis yang papa.
  188. Katakan padanya lama-lama mendekam di tempat sunyi dan bersemadi dia bisa jadi manusia bulukan! Si kakek tertawa mengekeh.
  189. Dia menegur kakek yang terlalu kejam menghukum tiga orang anak buah­nya dan karena itu kakek ini marah se­kali kepadanya.
  190. Merasa ada hawa dingin menghantam­nya dari samping, Souw Cu In terkejut dan maklum bahwa kakek ke dua mem­bantu temannya.
  191. Inilah ilmu silat orang gila ciptaan kakek sakti bernama Tua Gila yang merupakan salah seorang datuk silat di pulau Andalas.
  192. "Cu Goan Ciang, bersiaplah untuk mampus di tanganku!" Thian Moko berseru dan kakek inipun menggerakkan tongkatnya menyerang.
  193. Tangan kirinya mengandung Swat-­im Sin-kang dan kakek yang ahli ilmu tenaga sin-kang dingin itu kini meng­gigil kedinginan.
  194. Tetapi dia tak mau turun, mungkin takut kalau mengganggumu" kata kakek tua seraya memasukkan ikan bader ke dalam lukah bambu.
  195. Akan tetapi tiga belas orang itu ternyata lihai, terutama sekali seorang di antara mereka seorang kakek yang memegang pedang.
  196. "Goan Ciang, Yen Yen, cepat kalian pergi!" berulang-ulang kakek Pek Mau Lokai berteriak, menyuruh kedua orang muda itu pergi.
  197. Walaupun berkata begitu, kakek yang rambut dan janggutnya putih itu tetap memandang batang kail yang terbenam kedalam sangai.
  198. Kecurangan sikap sepasang kakek dan nenek tadi membuat mereka penasaran dan kini di dalam hati mereka mendukung Cu Goan Ciang!
  199. tiba-tiba kakek tua itu mengangkat kailnya dan memekiklah cucunya dengan gembira "Kakek, seekor ikan bader yang besar sekali!"
  200. Biarpun sudah tua renta, namun kakek dan nenek itu ternyata masih memiliki tenaga yang kuat dan gerakan merekapun masih cepat.
  201. Kalau tadi ketika kakek itu meloncat, perahu sama sekali tidak bergoyang seolah yang hinggap di perahu itu hanya seekor burung.
  202. Seorang kakek dan seorang nenek yang keduanya berusia delapan puluh tahun, memegang tongkat dan kurus, nampak ringkih dan loyo.
  203. Sepasang kakek nenek tua renta itu saling pandang, lalu mengamati pria tinggi besar yang kepalanya botak dan berjubah lebar itu.
  204. Jarang ada makanan yang dipuji kakek ini, ada saja kekurangannya, kurang asin atau terlalu manis, terlalu kering dan sebagainya.
  205. Pula sejak mendengarkan cerita kakek tua yang berisi kissah perjuangan, jiwa dan alam pikiran anak itu mengalami perobahan besar.
  206. Dan dia melihat pula seorang kakek yang bajunya berkembang penuh tambalan, rambutnya sudah putih semua dan dibiarkan riap-riapan.
  207. "Ah, kiranya engkau murid kakek pincang itu? Gurumu pernah bersikap baik terhadap muridku, biarlah sekarang aku membantu muridnya.
  208. "Kalian berjaga di sini dan begitu ada gerakan untuk memberontak dari orang-orang Bu-tong-pai, kalian lebih dulu bunuh kakek ini!"
  209. Hanya sekejab lalu berberpaling memandang kemuka lagi dan beberapa saat kemudian kakek serta cucu itupun lenyap ke dalam gerumbul.
  210. Dua orang itu marah-marah dan sekali pukul, tubuh kakek itu terpelanting keras, namun kakek itu masih memaki-maki dengan marahnya.
  211. Rasa aneh itu makin membangkitkan kegairahan Dipa untuk mengetahui diri kedua kakek dan cucu itu serta mendengarkan cerita mereka.
  212. Semua mata ditujukan pada kakek yang melangkah bungkuk tertatih-tatih sambil membuka topeng tipis yang menutupi muka dan kepalanya.
  213. Ternyata yang datang adalah dua orang, seorang pemuda yang gagah dan seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja.
  214. Di sebelah kiri orang tua ini duduk terbungkuk-bungkuk seorang berdestar hitam yang agaknya adalah pembantu kakek bermuka biru itu.
  215. Dengar Datuk, dengan tidak melumpuhkan tenaga dalam dua kakek itu kita bisa memanfaatkan mereka menghadapi orang-orang golongan putih.
  216. Setelah menjura salah seorang dari mereka memberitahu bahwa kakek sakti berjuluk Jagal iblis Makam Setan akan segera datang menghadap.
  217. Ah... ah... ah! Panjang umurnya! Baru disebut sudah datang! Kaliankah penghuni Lembah Bangkai ini?! kakek yang berjubah putih bertanya.
  218. Selain bekas hwesio itu, juga ada sepasang suami isteri yang sudah kakek nenek namun mereka lihai dan dapat menjadi pendukung yang kuat.
  219. Pada saat itu berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di situ telah berdiri seorang kakek yang kaki kirinya timpang dan membawa tongkat.
  220. Lelaki yang ketiga juga seorang kakek berwajah klimis, berpakaian biru muda yang pinggangnya dililit seutas rantai perak berwarna putih.
  221. Bahkan Coa-pangcu berhasil pula mendatangkan dua orang gurunya, yaitu kakek dan nenek tua renta itu yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
  222. Sinto Gendeng dan Dewa Tuak serta Tua Gila sama-sama terkesiap saling pandang begitu melihat siapa adanya kakek yang duduk di depan obor.
  223. Misalnya, ketika kakek tua itu menceritakan bagaimana karena mencuri di desa Pamalanten, Ken Arok dikejar penduduk desa untuk dibunuhnya.
  224. Dia tahu bahwa dia berhadapan dengan seorang kakek yang luar biasa, dan bukan mustahil kakek seperti ini memiliki ilmu kepandaian tinggi.
  225. Akan tetapi ketika mengenai dada kakek itu, pukulannya tidak berarti sama sekali, tenaga sinkangnya seperti tenggelam dan hilang sendiri.
  226. Imo, kau tahan dulu tiga bergajul ini! ujar Wiro yang seenaknya saja menyebut nama si kakek muda cekung yang jauh lebih tua dari padanya.
  227. Hari berganti hari, pekan bersusul pekan dan bulan beralih bulan, Dipa selalu datang untuk mendengar cerita yang dibawakan kakek tua itu.
  228. Selagi dia berdiri termangu, nampak bayangan berkelebat dan kini sepasang kakek dan nenek Huang-ho Siang Lomo telah berdiri di hadapannya.
  229. Dan diapun mulai hari itu tekun melatih diri dengan ilmu Hok-mo-pang (tongkat penakluk iblis) dan ilmu lain yang diajarkan oleh kakek itu.
  230. Si kakek tersentak kaget ketika pemuda dengan siapa dia tadi bicara kini berkelebat lenyap dan tahu-tahu sudah ada di tikungan jalan sana.
  231. "Nah, sekarang mari kita seberangi sungai ini, Han Li." kata kakek itu sambil meloncat ke dalam sebuah perahu kecil yang berada di pantai.
  232. Mereka lalu maju mengero­yok, akan tetapi hasilnya mereka sendiri yang terlempar malang melintang terkena tamparan dan tendangan kakek itu.
  233. Mereka tadi sedang bersiap hendak makan siang ketika mendengar laporan para koki bahwa di dapur terdapat kakek pengemis yang mencuri makanan.
  234. Tanpa mem­pedulikan tangan gurunya yang mencoba untuk menahannya, dia sudah meloncat keluar menghadapi kakek itu sambil membusungkan dadanya.
  235. Maka, usul yang tiba-tiba dan terbuka dari kakek itu sungguh mengejutkan hatinya dan membuat dia bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana.
  236. Puluhan tahun hidup tidak pernah kurasakan udara begini panas! Belum lama si kakek keluarkan perasaan hatinya itu tiba-tiba seseorang berseru.
  237. Akan tetapi ketika ia memutar tubuh dan melangkah, tiba-tiba ada bayangan orang melewatinya dan tahu-tahu kakek itu telah berdiri di depannya."
  238. Begitu suara nyanyian kakek bermuka biru lenyap maka di tempat itu hanya terdengar deru hujan yang masih mencurah turun walau kini mulai mereda.
  239. Cu Goan Ciang menyambar tongkat yang dilontarkan Yen Yen untuk kedua kalinya kepadanya dan diapun menyambut serangan kakek itu dengan tongkatnya.
  240. Tiba-tiba dari balik semak-semak di seberang bermunculan tiga orang yang segera keluar dan menjatuhkan diri ber­lutut di depan si kakek timpang.
  241. Tiba-tiba terdengar suara parau dari kakek botak yang sejak tadi memandang penuh perhatian, "Leng Si, mundurlah, dan suruh semua prajurit mundur.
  242. Karena setiap hari setelah memperoleh ikan, baru kakek tua itu bercerita dan apabila matahari lewat di atas kepala, mereka segera berkemas pulang.
  243. Kemudian, kakek botak tinggi besar itu sekali menggerakkan kakinya, sudah berdiri di depan Hung Wu yang masih melintangkan pedang di depan dadanya.
  244. "Akan tetapi engkau telah dapat mengalahkannya, Locianpwe!" Han Li menyebut locianpwe untuk menghormati kakek pengemis yang ternyata amat sakti itu.
  245. Akan tetapi kembali ada bayangan berkelebat dan tahu-tahu kakek itu telah berada di depannya lagi, mengembangkan kedua tengannya sambil menyeringai.
  246. Jalan masih lenggang, Cuma beberapa kendaraan yang Melintas, seorang kakek yang berlari-lari pagi, pengasuh bayi yang masih mendorong kereta bayinya.
  247. Sekarang tinggal Swat-hai Lo-kwi seorang yang masih bertanding melawan Kai-ong. Ketika Kwi Hong hendak membantu kakek itu, lengannya dipegang Han Li.
  248. Aku tahu pula kakek Coa telah membayar dan melunasi semua hutangnya kepadamu berikut bunganya yang berlipat kali lebih besar dari pada jumlah pinjaman.
  249. Walaupun tidak mempedulikan tetapi merekapun tak mengusirku " pada lain saat Dipa menjawab keraguannya "ah, memang aneh sekali kedua kakek dan cucu itu"
  250. Ternyata kakek itu gemuk dan pendek sekali masih kalah tinggi dibandingkan Han Li. Wajahnya seperti kanak-kanak, telinganya lebar dan matanya kemerahan.
  251. Dari cerita kakek itu, ia tahu bahwa Ken Arok itu seorang raja yang termasyhur, begitu pula Anusapati, Tohjaya, Rangga Wuni, Kertanegara dan raden Wijaya.
  252. Namaku Lu Tong Ki, sebut saja aku kakek atau Kai-ong karena memang itu julukanku jelek-jelek aku ini raja lho, walaupun hanya raja pengemis, heh-heh-heh!"
  253. Serangan-serangan tongkat kakek itu yang menotok ke arah seluruh jalan darah di tubuhnya, menunjukkan bahwa kakek itu seorang ahli totok yang lihai sekali.
  254. "Aku tidak sudi dan harap jangan halangi aku pergi!" kata Han Li dengan marah dan ia lalu membalikkan tubuh lagi untuk meninggalkan kakek pendek gemuk itu.
  255. Hal ini mulai dia rasakan dan ketahui dan diam-diam Keng Han juga dapat menduga bahwa ini tentu akibat pukulan kakek raksasa dan akibat gigitan ular merah.
  256. Dengan berloncatan ke sana-sini dan pedang beng­koknya mencorat-coret menuliskan huruf­-huruf, dia dapat menghindarkan diri dari semua serangan kakek itu.
  257. Han Li maklum bahwa kakek ini sudah nekat, maka ia lalu memainkan ilmu silat Koai-liong-kiamsut (Ilmu Pedang Naga Siluman) yang ia pelajari dari ibunya pula.
  258. Rasa heran yang menelungkupi perasaan, secara tak disadari, menggerakkan kakinya menuruni karang dan menghampiri kedekat tempat kakek dan anak perempuan itu.
  259. Goan Ciang tidak dapat mengelak atau menolak lagi ketika dia diangkat menjadi ketua Hwa I Kaipang! Yen Yen menjadi wakilnya, dan kakek itu menjadi penasihat.
  260. Selagi Imo Gantra si kakek muka cekung masih merintih kesakitan, Ki Rawe Jembor telah berhasil memulihkan rasa sakit pada bagian tubuh yang kena dijotos Wiro.
  261. Tamu kita ini adalah Cu Goan Ciang, dan mulai hari ini dia menjadi saudara kita, menjadi pembantu utamaku di sini," kata kakek Pek Mau Lokai sambil tersenyum.
  262. Tetapi atma atau rohnya tetap hidup dan kelak akan turun menjelma ke dunia lagi menurut kadar dari amal perbuatannya dalam kehidupan yang lalu" kata kakek tua.
  263. Akan tetapi, dia terbelalak dan girang sekali melihat betapa kakek tua itu menggerakkan tongkatnya dan si kumis tebal terjungkal dan tidak dapat bergerak lagi.
  264. Masih baik baginya bahwa di situ terdapat kakek pengemis yang ternyata lihai sekali sehingga para pengemis dan sebagian perajurit terpaksa mengeroyok kakek itu.
  265. Han Li segera lari ke belakang rumpun bambu seperti yang dikehendaki Kai-ong, sementara kakek itu sendiri berindap-indap menghampiri bangunan itu dari belakang.
  266. Maka, begitu melihat kakek berpakaian pengemis itu bersama seorang gadis cantik yang mendatangkan kekacauan di dapurnya, dia melarang para pengawal turun tangan.
  267. Mereka semua menggunakan tongkat, dan baik Goan Ciang maupun Pek Mau Lokai memainkan ilmu tongkat Hom-mo-tung menghadapi sepasang kakek dan nenek yang lihai itu.
  268. Setelah dua orang tawanan itu dibawa pergi oleh pasukan untuk dihadapkan komandan mereka, Coa Kun lalu memperkenalkan Bouw In dengan sepasang kakek dan nenek itu.
  269. Astaga! Itu si kakek Samino! Apa yang terjadi dengan dirinya?! Sang dara melompat dari atas kuda, langsung berlari ke arah mayat orang tua yang terbujur di tanah.
  270. Kedua orang kakek itu mempergunakan kecepatan gerakan mereka untuk memperoleh kemenangan dan agaknya dalam hal gin-kang (ilmu meringankan tubuh) keduanya seimbang.
  271. Ia yakin bahwa muridnya yang ter­sayang itu akan terpukul mati atau se­tidaknya akan lumpuh seperti ancaman kakek itu dan ia tidak berani turun ta­ngan membantu.
  272. "Aha, ternyata engkau seorang pemuda yang tampan dan gagah! Dan kulihat engkau juga tidak malas dan cekatan!" kakek itu memuji setelah mereka duduk berhadapan lagi.
  273. Melihat kakek itu tidak membantah lagi, Yo Han Li lalu menjatuhkan dirinya berlutut di depan kakek iti sambil menyebut "suhu". Lu Tong Ki segera membangunkan Han Li.
  274. Ia melihat betapa kedua orang kakek itu tergetar, akan tetapi tubuh Koai-jin terpental dan bergulingan ke belakang sedangkan tubuh Kai-ong hanya bergoyanggoyang saja.
  275. Trakkk!" Pancing itu terpental ketika tertangkis tongkat bambu itu dan selanjutnya kedua kakek itu saling menyerang dan tubuh mereka berkelebatan dengan cepat sekali.
  276. Mendengar suara tawa ini, kakek itu menahan gerakan tangkai pancingnya dan kesempatan ini dipergunakan oleh Han Li yang sudah terdesak itu untuk melompat ke belakang.
  277. Karena tidak tahu, Han Li menghampiri kakek itu dari belakang dan bertanya, "Kakek yang baik, tahukah engkau di mana aku bisa menyewa perahu untuk menyeberangkan aku?"
  278. Dua orang kakek itu bukan lain ada­lah Swat-hai Lo-kwi dan Tung-hai Lo-­mo. Dasar dua orang datuk sesat, mere­ka tidak merasa puas hanya dilayani sebagai tamu biasa.
  279. Siauw Cu tercengang, lalu tertegun, merenung, memandang kepada kakek yang tidur nyenyak itu, lalu menambahkan kayu pada perapian dan termenung memandang api yang merah.
  280. Belum lagi kakek botak itu yang kini sudah turun dari kuda, dan berdiri memandang kepadanya dengan sinar mata mencorong, yang dia duga tentulah seorang yang lihai pula.
  281. Kemudian, kakek tua renta yang berjuluk Thian Moko mengerutkan alisnya, memandang tajam dan berkata, suaranya tinggi kecil, cocok dengan tubuhnya yang tinggi kurus pula.
  282. Tentu saja Pangeran Tao Seng terkejut bukan main dan memperkuat serangannya, namun serang­annya dapat dielakkan atau ditangkis kakek yang ternyata lihai bukan main itu.
  283. Kini, kakak beradik itu telah tiba di depan kakek yang didampingin pengantin wanita yang menggigil ketakutan dan kakek berewok itu memandang mereka dengan alis berkerut.
  284. Keng Han segera mengenal Swat-hai Lo-­kwi, kakek raksasa rambut putih yang dulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Maka dia se­gera menghadapinya.
  285. "Aku menyetujui usul Shu-Ciangkun," kata Bouw Ku Cin. "Agaknya kakek raksasa itu menawan adikku hanya untuk dijadikan sandera agar dia tidak dapat diganggu oleh pasukan.
  286. Baru saat ini aku mendengar seorang pendekar besar meratap minta dikasihani! Dengan gerakan memaksa si kakek membuka jubah sakti Kencono Geni yang melekat di tubuh Wiro.
  287. Ketika Pek Mau Lokai diajukan untuk dinilai, tak seorangpun berani menyatakan tidak setuju dan dengan sendirinya kakek pendiri Hwa I Kaipang inipun menjadi seorang calon.
  288. Datuk, menurut petunjuk dalam air kau tidak boleh menyedot tenaga dalam Dewa Ketawa dan Dewa Sedih ... berucap si kakek bermuka lancip sambil usap janggutnya yang kelabu.
  289. Sementara itu, kakek raksasa rambut putih kini diserang oleh puluhan, bahkan ratusan ular merah! Dia sibuk berloncat­an ke sana sini sambil mengibaskan ke­dua tangannya.
  290. Bukkk....! Pukulan tangan Keng Han mengenai dada kakek itu, akan tetapi bukan kakek itu yang roboh melainkan Keng Han sendiri yang terlempar dan terjengkang ke atas tanah.
  291. Sebelum prajurit-prajurit kerajaan menjadi korban keganasan pedang sang dara lebih banyak, dari arah pintu gerbang istana, dua orang kakek tampak berkelebat dalam kegelapan.
  292. Laki-laki tadi adalah ketua Hek I Kaipang, Coa Kun. Kebetulan sekali dia hendak keluar kota dan yang menemaninya hanya seorang kakek dan seorang nenek yang sudah sangata tua.
  293. Dia pernah mendengar tokoh seperti itu dan dapat menduga bahwa tentu kakek ini yang berjuluk Pek Mau Lokai (Pengemis Tua Rambut Putih) yang menjadi guru kedua dari suhengnya.
  294. Kiranya hampir semua pengemis yang tadi tinggal di kuil, kini datang mengeroyok kakek rambut putih, sedangkan dari luar datang lebih banyak perajurit mengeroyok Cu Goan Ciang.
  295. Setelah merobohkan dua orang lawan­nya, kakek itu lalu membantu gadis ber­baju hijau yang masih dikeroyok dan dalam waktu singkat saja mereka berdua telah merobohkan selosin.
  296. Diapun cepat mengumumkan agar semua pihak mengajukan calon-calon mereka. Pihak Hek I Kaipang sendiri mengajukan tiga orang calon, yaitu kakek Bouw In, Thian Moko, dan Tee Moli.
  297. Ketika kakek itu merasa penasaran hendak mengguna­kan tongkat yang sekarang dipegangnya itu, Bi-kiam Nio-cu menegurnya dan mengingatkan akan janjinya dan kakek itu lalu pergi.
  298. Ketika kakek itu mengeluarkan bungkusan dan membuka bungkusan, dia melihat roti dan daging yang memang cukup banyak untuk mereka berdua, maka dengan hati lega diapun ikut makan.
  299. Tao Kuang juga melihat betapa he­batnya gadis itu menghajar para penga­wal dan ketika dia melihat kedua orang kakaknya mengeroyok kakek yang me­megang tongkat, dia berteriak.
  300. DUA ANAK leiaki yang tadi menyerang Wiro ternyata sudah berada dalam ruangan itu, duduk bersila dihadapan seorang kakek bermuka kelimis lonjong dengan janggut pendek di dagunya.
  301. Wiro maklum, apapun kehebatan senjata di tangan dua kakek berkepandaian tinggi itu, namun Keris Mustiko Geni tetap merupakan senjata paling berbahaya yang harus diperhatikannya.
  302. Ia maklum bahwa kakek ini seorang yang berkepandaian tinggi, maka ia memberi hormat dan berkata, "Harap Locianpwe suka memaafkan kalau aku sudah mengganggu ketenangan Locianpwe."
  303. Tidak perlu mencari penyakit dengan memperkenalkan nama lengkapnya, akan tetapi diapun tidak tega untuk membohongi kakek yang telah begitu baik membagi makan malamnya dengan dia.
  304. Yen Yen melepaskan diri dari rangkulan Goan Ciang dan keduanya meloncat berdiri, terbelalak memandang kepada kakek yang sudah berdiri di depan mereka, bersandar kepada tongkatnya.
  305. Bahkan ayah 8 anak, empat putra dan empat putri serta kakek 12 cucu ini, sejalan dengan usia dan perkembangan zaman, kematangan menulisnya pun semakin tercermin di dalam kisahnya.
  306. Ia harus membantu dan menolong Hung Wu, apapun yang terjadi, maka iapun sudah menerjang ganas, menyerang dan mengeroyok kakek botak yang kedua lengan jubahnya lihai bukan main itu.
  307. Maka, dengan niat merobohkan kakek itu dengan sekali pukul, dia mengerahkan tenaga dan tangannya yang lebar itu dengan jari-jari terbuka menyambar dan menampar ke arah kepala lawan.
  308. Dia mengelak dengan gerakan dari Hong In Bun-hoat. Melihat serangan pertamanya gagal, kakek timpang itu menjadi pena­saran sekali dan kini dia memukul lagi dengan tenaga sepenuhnya.
  309. Kau harus ganti kaki kayuku dengan kedua kakimu yang mulus bagus! Lalu kakek ini sambar dua tongkat dileher kuda dan dengan gerakan cepat dia melompat turun dari punggung binatang itu.
  310. Souw Cu In menangkis dengan cepat dan tangkisan itu membuat tangan yang mencengkeram itu terpental dan gadis itu membalas dengan tamparan yang kuat ke arah muka kakek tinggi kurus itu.
  311. Diapun segera mencontoh pengemis tua itu dan mulailah Cu Goan Ciang mengelak dan menghindar dengan berlari-lari menjauhkan diri dan membiarkan kakek itu terus menyerang dan mengejarnya.
  312. Biarpun dia tidak sepandai Pek Mau Lokai dalam hal menggoda dan mengejek, namun Cu Goan Ciang berusaha memanaskan hati lawan dengan mentertawainya, setiap kali serangan kakek itu luput.
  313. Nah, sambutlah seranganku ini!" Tay-lek Kwi-ong membentak, kini tidak sungkan lagi karena kakek tua renta itu tadi telah memandang rendah kepadanya dan semua orang mendengar kata-katanya.
  314. "Heh-heh-heh!" kakek itu terkekeh dan ujung tongkatnya menyambar ke arah mata kanan Tay-lek Kwi-ong. Raksasa ini terkejut sekali dan nyaris matanya menjadi korban dicongkel ujung tongkat.
  315. Seorang di an­tara mereka segera dikenalnya sebagai kakek yang dahulu pernah memukulnya ketika mereka bertemu di Pulau Hantu. Kakek raksasa berambut putih itu tidak akan pernah dilupakan.
  316. Kiranya Keng Han sudah berdiri di depannyai Dia segera mengenal Keng Han, akan tetapi pemuda itu sendiri tidak mengenalnya karena kakek Itu memakai samaran sebagai seorang perajurit biasa.
  317. Tak lama kemudian mereka melihat tiga orang berpakaian pendeta berjubah merah sedang mengeroyok seorang kakek yang berpakaian biasa seperti seorang petani yang kepalanya botak hampir gundul.
  318. Berkata demikian kakek itu lalu menggerakkan tongkat pedangnya menyerang Cu In. Gadis ini mengelak dan Han Li membantu, akan tetapi para anak buah Kwi-kiam-pang sudah maju pula mengeroyoknya.
  319. Beberapa kali dia menghela napas panjang, lalu memandang kepada Yen Yen, kemudiang kepada kakek itu, Yen Yen masih menundukkan mukanya, akan tetapi kakek itu mengamati wajahnya penuh selidik.
  320. Itu soal gampang Datuk. Jika saatnya tiba kita akan menyingkirkan mereka semudah membalikkan telapak tangan! Percuma kau memiliki Sarung Tangan Penyedot Batin! jawab kakek bermuka lancip itu.
  321. Pa­ngeran itu berlindung di balik sebatang pohon besar dan gadls itu berdiri di de­pan pohon, menghalau semua penyerang dan tidak seperti kakek itu, gadis itu bergerak cepat dan juga ganas.
  322. Demikian seperti yang telah dilakukan selama berpekan-pekan ini, menjelang mentari turun kebalik gunung, ia segera menggiring kambing sambil melamun cerita yang dituturkan kakek tua siang tadi.
  323. Mendengar gerakan ini, dua orang kakek itu menengok dan alangkah kaget hati mereka melihat gadis itu telah bebas dan telah siap menyerang dengan sabuknya! Mereka meloncat berdiri dan siap pula.
  324. Suhu tidak akan dilibatkan dengan urusan itu, akan tetapi ada hal lain yang amat penting, yang membutuhkan bantuan suhu. Bahkan ayah telah mengundang kakek dan nenek guru untuk datang membantu."
  325. Diam-diam Goan Ciang mendongkol, akan tetapi dia mulai memperhatikan kakek itu karena merasa bahwa sikap jembel tua yang biasanya lemah dan selalu hendak menarik perhatian dan iba hati orang lain.
  326. Apa lagi setelah ketua Hek I Kaipang yang baru adalah murid keponakan kakek sendiri, hubungan di antara kedua perkumpulan amat baik, bahkan bekerja sama dalam menentang pemerintah penjajah Mongol.
  327. Diapun mengerahkan tenaganya dan berusaha membalas serangan lawan, namun semua serangannya dapat dielakkan atau ditangkis oleh kakek tua renta yang kelihatan loyo namun ternyata lihai bukan main itu.
  328. Pada saat itu terdengar bentakan nyaring lembut, Dari mana datangnya dua orang kakek yang begini jahat? Dan muncullah seorang gadis berpakaian putih yang wajah bagian bawahnya tertutup kain putih pula.
  329. Sudah lama ia hidup di dekat kakek itu, menerima pelajaran Tongkat Pemukul Iblis dan ikut pula makan enak di dapur istana Pangeran Mahkota bahkan sampai menjadi tamu pangeran itu selama beberapa pekan.
  330. Mengingat bahwa dia pernah terpukul oleh kakek raksasa bernama Swat-hai Lo­kwi yang membuat tubuhnya terasa di­ngin sekali itu, dan mengingat bahwa dia digigit ular-ular merah, dia terkejut se­kali.
  331. Kemudian, dibantu oleh anaknya, kakek itu lalu mengikat semua pengawal dan dua orang pangeran di atas kuda mereka dengan tali yang memang diper­siapkan oleh para pengawal untuk mengikat binatang buruan.
  332. Adapun pihak Hwa I Kaipang diwakili oleh Pek Mau Lokai sendiri, kakek berusia enam puluh enam tahun yang rambutnya putih riap-riapan itu, kakek yang selalu tersenyum dan matanya yang sipit tajam sinarnya.
  333. Kalau kakek itu suaranya meninggi kecil, sesuai dengan tubuhnya yang tinggi kurus, nenek yang berjual Tee Moli ini memiliki suara yang parau besar, sesuai pula dengan tubuhnya yang pendek dan gemuk sekali.
  334. Akan tetapi, mendengar nasihat Souw Cu In, dia tahu bahwa tentu ilmu pedang kakek timpang itu hebat dan dahsyat, maka kini dia menggunakan pedang pem­berian ibunya atau pedang peninggalan ayah kandungnya.
  335. Hayo, orang muda. Kau boleh meng­gunakan senjata apa pun, boleh kau pilih dari rak senjata itu untuk menghadapi pedangku! kata kakek itu sambil meng­angkat tongkat di tangannya yang dalam­nya terisi pedang.
  336. Mendengar akan tewasnya kakeknya, walaupun hal itu sudah dikhawatirkannya dan juga tidak ada yang menyaksikan sendiri tewasnya kakek yang gagah perkasa itu, Yen Yen menangis sesenggukan dengan hati penuh duka.
  337. Tang Hun girang sekali mendengar suara ini karena suara itu adalah suara ayahnya! Memang yang baru datang itu adalah Hek-houw Tang Kwi sendiri, seorang kakek bermuka hitam berusia kurang lebih lima puluh tahun.
  338. Oleh karena itu, timbul kekhawatirannya kalau-kalau Hung Wu bertindak sendiri dan terancam bahaya, maka iapun melakukan pengejaran seorang diri dan muncul pada saat Hung Wu didesak seorangkakek yang amat lihai.
  339. Tadi pun andaikata dia berkeras bendak membunuh, menghadapi pangeran itu beserta isterinya dan Kwi Hong, Cu In, kakek pengemis dan muridnya, belum tentu dia berhasil bahkan mungkin saja dia yang roboh dan tewas.
  340. Tentu saja Goan Ciang dan Yen Yen merasa girang bukan main dan mereka cepat menolong kakek itu dan mengundang ahli pengobatan yang pandai sehingga dalam waktu sebulan saja kesehatan kakekitu telah pulih kembali.
  341. Aku tidak ingin apa-apa, tidak butuh bahagia, hanya butuh tidur!" Setelah berkata demikian, kakek yang tadinya duduk bersila itu lalu merebahkan tubuhnya, miring dan dalam beberapa detik saja dia sudah tidur pulas!
  342. "Ha-ha-ha, bagus, bagus! Tanda sebagai isarat antar anggota itu bagus sekali." Sambil masih tertawa gembira kakek itu pergi dengan gerakan yang cepat sehingga sebentar saja dia sudah lenyap ditelan kegelapan malam.
  343. Karena apa yang telah terjadi atas diri Dewa Sedih dan Dewa Ketawa merupakan hal yang sulit dipercaya maka ketika dua kakek ini menggiring Ki Juru Tenung, yang lain-lain segera mengikuti, kecuali Anggini dan Panji.
  344. Eh, apa kesalahan Kongcu ini maka akan dibunuh? tanya kakek itu semen­tara Pangeran Tao San terhuyung ke belakang oleh tangkisan kayu ranting itu yang berada di tangan gadis yang ber­tubuh ramping dan berwajah ayu.
  345. "Hemm, bukankah kakek memsan kepadaku agar mengajakmu berlatih untuk kemajuan ilmuku?" terdengar suara Yen Yen dan Goan Ciang kini terbelalak memandang pemuda remaja itu yang tertawa lepas di depannya, tawa khas Yen Yen!
  346. Ketika Pek Mau Lokai, sebagai wakil Hwa I Kaipang mendapat kesempatan menyambut dan ketika kakek yang rambutnya riap-riapan putih ini berdiri di panggung, dengan tongkat butut di tangan kanan, semua orang memandang kagum.
  347. Kemudian dia melom­pat ke atas batu meninggalkan Ji Koan dan melihat seorang kakek raksasa be­rambut putih bertempur melawan para perampok yang dipimpin oleh Hek Houw. Dan semua perampok telah dibunuh oleh kakek raksasa.
  348. Sepasang mata yang indah itu kini menyapu wajah Cu Goan Ciang dan Shu Ta. Melihat Cu Goan Ciang yang berada di depan menghadapi dua orang tukang pukul, gadis itu bertanya, "Sobat, apakah kalian hendak membela kakek Coa ini?"
  349. "Bunuh dia!" Si kumis lebat menggerakkan goloknya menikam tubuh kakek yang masih duduk setengah rebah itu Cu Goan Ciang sendiri sudah diserang beberapa orang perajurit sehingga dia tidak lagi dapat melindungi kakek pengemis.
  350. Biarpun dia sudah mendengar akan kelihaian Thian Moko, akan tetapi tokoh itu kini sudah tua renta, bagaimana mungkin mampu menandingi kekuatannya yang dahsyat? Biar dia kalahkan kakek ini lebih dulu agar mendapat kesan baik.
  351. Gadis itu tertawa, tawanya bebas mengingatkan Goan Ciang kepada kakek Pek Mau Lokai, akan tetapi wajah gadis itu kemerahan, hal yang diketahui oleh pemilik wajah itu sendiri karena terasa mukanya panas dan jantungnya berdebar.
  352. Ini hebat! Karena maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang kakek sakti yang agaknya berniat jahat terhadap dirinya, Han Li lalu menyerang dengan ilmu silat Ang-ho Sin-kun (Silat Sakti Bangau Merah) yang dipelajari dari ibunya!
  353. Wuuuuuttttt.... desssss....!!! Dua tenaga yang amat hebat bertubrukan di udara dan akibatnya, tubuh kakek itu terpental ke belakang sampai dia ter­huyung beberapa langkah, sedangkan tu­buh Keng Han hanya bergoyang-goyang saja!
  354. Seorang lelaki setengah tua berwajah bersih, putera buyut desa, seorang kakek berbaju hitam dan seorang lelaki bertubuh tegap, cepat tiba di tanah lapang dan disambut dengan salam kehormatan oleh berpuluh penduduk yang berada di situ.
  355. Rembulan dan matahari akan bertindihan di satu garis lurus! Gerhana! Matahari akan mengalami gerhana! Kata-kata terakhir si kakek keras sekali tapi sangat tercekat sehingga semua orang yang mendengar men-jadi bungkam dalam kegelisahan.
  356. Dilihat keadaan tubuhnya yang jangkung kurus, kakek ini nampaknya lemah saja, akan tetapi semua orang tahu bahwa dibalik keadaan itu terkandung kekuatan yang hebat dan terutama tongkat butut itu kabarnya belum pernah mengalami kekalahan.
  357. Ternyata bahwa benar seperti dugaan Goan Ciang, kakek botak itu adalah Bouw In Hwesio, atau bekas hwesio Siauw-lim-pai. Dahulu, Bouw In Hwesio adalah seorang tokoh Siauw-lim-pai yang berbeda dari para hwesio yang lain, suka sekali merantau.
  358. Pembantu kakek berarti seorang yang akan memimpin kaipang kita, berarti dia haruslah seorang yang cakap dalam kepemimpinan, bijaksana, cerdik, berwibawa, dan terutama sekali memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi dari pada para anggota kita.
  359. Pendekar malang I Sekian lama hidup tersiksa saat ini kau sudah bisa jual omongan besar! Sebentar lagi aku akan mengakhiri derita hidupmu dengan mencabut selembar nyawamu! Habis berkata begitukakek berkaki tulang ini berpaling pada Puti Andini.
  360. Seorang gadis yang amat cerdik, dan sekarang dia tidak merasa heran mengapa seorang kakek bijaksana seperti Pek-mou Lo-kai menyerahkan kepemimpinan perkumpulan besar seperti Hwa I Kaipang kepada seorang gadis! Kiranya gadis ini memang cerdik sekali.
  361. Lo Cit sebetulnya merasa jerih terhadap kakek yang namanya terkenal sekali di antara para datuk itu, akan tetapi dia berbesar hati karena di situ terdapat belasan orang murid-murid utamanya yang sudah pandai membentuk barisan pedang yang amat lihai.
  362. Sebaliknya tusukan pedang yang diharapkan akan menewaskan Imo Gantra ternyata menemui kegagalan karena sambil menjotos dengan tangan kanan, Ki Rawe Jembor pergunakan tangan kiri untuk mendorong Imo Gantra hingga kakek satu ini selamat dari kematian!
  363. Akan tetapi Pek Mau Lokai tidak sempat menjawab karena dia sudah mengamuk untuk mencegah para perwira melakukan pengejaran terhadap Cu Goan Ciang dan Yen Yen. Gerakan kakek ini amat dahsyat dan siapa yang berani melewatinya untuk mengejar, tentu roboh.
  364. Dia segera menyatakan menerima puteranya meng­hadap dan ketika melihat Pangeran Tao Kuang ditemani seorang kakek dan se­orang gadis menggiring Tao Seng dan Tao San berikut dua belas orang pengawal itu menghadap, tentu saja kaisar menjadi heran sekali.
  365. Mereka melemparkan golok mereka ke atas tanah, kemudiang keduanya menghampiri Shu Ta dan Cu Goan Ciang. Si kumis panjang menghadapi Shu Ta sedangkan si hidung besar menghadapi Cu Goan Ciang. Gadis itu sendiri lalu mendekati kakek Coa, seperti melindungi.
  366. Itulah bahagia! Itukah? Keadaan tidak ingin apa-apa, ituka yang dinamakan bahagia? Akan tetapi, bagaimana mungkin hidup tidak ingin apa-apa, seperti kakek itu? Menerima keadaan begitu saja? Mungkin bisa dilakukan seorang yang sudah tua seperti kakek itu.
  367. Eh, tunggu dulu! Siapa yang telah menolongmu anak setan? Bukan aku! Bukan juga kakek buta bau apak di sampingku ini! Yang menolongmu adalah orang pandai dari tanah seberang bernama Andamsuri ini serta serombongan gadis cantik yang terdiri dari tiga orang.
  368. Mereka dapat melihat seorang laki-laki yang berusia lima puluhan tahun, bertubuh sedang dan mukanya gagah sekali, seperti muka harimau, keluar dari dalam rumah itu bersama seorang kakek dan nenek yang keduanya sudah tua renta dan berjalan dibantu tongkat.
  369. Setiap hari setelah lepaskan kambing gembalanya kepadang rumput, Dipa segera mendaki karang dan turun ke gerumbul pohon untuk mendengarkan kakek tua yang mengail di tepi sungai sambil menceritakan cucu perempuannya, sejarah Ken Arok dan raja2 keturunannya
  370. Adapun kakek kedua adalah seorang berusia enam puluh­an tahun, bertubuh tinggi kurus, tangan kanan memegang sebatang dayung baja dan lengan kirinya memanggul tubuh seorang wanita yang pakaiannya serba pu­tih dan mukanya tertutup topeng sutera putih pula.
  371. Sejak dia berada bersama Hwa I Kaipang, Goan Ciang banyak mendapat petunjuk dalam ilmu silat dari Pek Mau Lokai, bahkan dia mengaku kakek itu sebagai gurunya walaupun dia masih menyebutnya pangcu (ketua) seperti yang dilakukan seluruh anggota Hek I Kaipang.
  372. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua pengeroyok mengundurkan diri mendengar bentakan ini dan di situ telah muncul seorang kakek berusia enam puluhan tahun yang memegang sebatang tongkat dan mendatangi tempat itu dengan terpincangpincang.
  373. Sungguh mengherankan sekali kakek dan nenek tua renta ini, walaupun kalau berjalan biasa saja harus dibantu tongkat, kini begitu bertanding, seolah mereka itu memperoleh tenaga baru dan mereka dapat bergerak dengan tangkas dan kuat seperti orang-orang muda saja.
  374. Dan begitu kakek itu membalas serangan lawan dengan tongkat, Tay-lek Kwi-ong menjadi repot bukan main! Ujung tongkat butut itu seperti berubah menjadi puluhan batang banyaknya dan setiap ujung tongkat mengancam dengan totokan maut ke arah jalan darah di tubuhnya.
  375. Ia memang sudah menduga bahwa kakek itu lihai sekali, akan tetapi sama sekali tidak mengira, bahwa dengan tangkai pancing bambu seperti itu kakek itu mampu melawan bahkan mendesaknya! Ujung tangkai itu kini menyerang dengan totokan-totokan ke arah jalan darahnya.
  376. Keng Han tentu sudah tewas akibat pukulan kakek raksasa berambut putih yang menamakan dirinya Swat-hai Lo­kwi itu, pukulan yang mengandung hawa sinkang dingin sekali, membuat orang yang dipukulnya mati beku, karena te­naga sinkang anak itu belum mampu melawannya.
  377. Sementara itu, kakek Coa memberi hormat kepada gadis itu dan berkata dengan suara khawatir, "Siocia, terima kasih atas pertolonganmu, akan tetapi harap siocia sampaikan kepada Ji wan-gwe bahwa bukan sekali-kali saya bermaksud untuk membangkang dan tidak mau bekerja.
  378. Tahulah dia bahwa kakek ini, seperti yang sudah diduganya, amat lihai dan sama sekali tidak membutuhkan bantuannya! Diapun menjadi bersemangat dan mengamuk di samping kakek itu yang kini memutar tongkat bututnya dan telah merobohkan empat orang berpakaian hitam-hitam!
  379. Dia terkejut dan melihat bahwa tempat dia dan kakek itu berada, telah dikepung oleh belasan orang! Ada yang berpakaian pengemis, adapula yang berpakaian perajurit! Akan tetapi mereka itu bukan menyambutnya dengan hormat, melainkan mengancamnya dengan senjata di tangan.
  380. Kini, semua mata ditujukan kepada kakek loyo yang berhadapan dengan raksasa Tay-lek Kwi-ong. Dilihat begitu saja, tentu kakek itu tidak akan dapat bertahan lebih dari lima jurus! Dia sudah begitu tua sehingga tertiup angin yang agak keras saja sudah dapat terpelanting.
  381. Seorang kakek yang tubuhnya tinggi be­sar seperti raksasa, yang semua rambut­nya sudah putih seperti kapas, sedang mengamuk dikeroyok oleh kurang lebih tiga puluh orang yang dia kenali dipimpin oleh si Harimau Hitam yang pernah di­hajarnya di dusun para nelayan itu.
  382. "Ah, sudah jelas sekarang! Pek Mau Lokai bergabung dengan pemberontak dan pembunuh perwira pasukan kerajaan!" Keadaan menjadi gaduh dan belasan orang itu siap mengeroyok Cu Goan Ciang dan juga kakek yang kini terbangun dan menggosok-gosok kedua mata dengan punggung tangan.
  383. Kaget kakek bau ini bukan alang kepalang ketika dari belakang berhembus angin deras membuat gerakannya mundur tertahan laksana ter-hadang tembok batu! Ketika dia berpaling dia melihat Kakek Sega la Tahu tegak mendongak ke langit gelap sambil kipas-kipaskan caping bambunya.
  384. "Huh, kiranya kalian adalah tukang-tukang pukul menjemukan itu! Siapa bisa percaya omongan kalian? Kakek Coa, ceritakan apa yang telah terjadi? Aku lebih percaya keteranganmu dari pada kata-kata mereka ini." Ketika menghadapi kakek Coa, suara nona muda itu terdengar lembut.
  385. Mereka tahu bahwa ilmu silat itu dirangkai oleh kedua orang kakek itu! Dan kini mereka hendak mempergunakan ilmu yang dirangkai bersama-sama itu untuk saling serang! Dua orang ini maklum betapa hebat dan dahsyatnya ilmu itu, apalagi kalau dimainkan oleh dua orang penemunya!
  386. Datuk sesat ini segera memandang penuh perhatian kepada penangkisnya dan ternyata yang menangkis pedangnya adalah seorang kakek tinggi kurus berpakaian tambal-tambalan dan memegang sebatang tongkat bambu, berdiri sambil tertawa bergelak dan mengelus jenggotnya dengan tangan kiri.
  387. Kalau engkau tidak membebaskan adikku dan kalau engkau mengganggunya, aku akan mengerahkan pasukan untuk mencarimu sampai dapat!" Setelah mengeluarkan ancaman itu, Bouw Ku Cin mengajak empat orang pengawal meninggalkan kakek itu yang segera melanjutkan perjalanan sambil memondong tubuh Mimi.
  388. "Lauw In Hwesio adalah guruku," kata Hung Wu, "dan agaknya lo-cian-pwe tentu supek (uwa guru) Bouw In Hwesio." Kalimat terakhir ini diucapkan dengan nada agak meragu karena kakek di depannya itu tidak gundul sepenuhnya, melainkan botak dan memelihara rambut di bagian belakang dan kanan kirinya.
  389. Bukankah Siauw Yen pernah menyatakan bahwa gadis itu tidak gentar menghadapi ketua Hek I Kaipang, akan tetapi yang amat lihai adalah puteri ketua itu? Dan sekarang yang berada di dalam kereta hanyalah Coa Kun, sang ketua, bersama seorang kakek dan seorang nenek yang sudah tua renta dan nampak loyo.
  390. Cu Goan Ciang tersenyum dan dia menoleh ke arah Pek Mau Lokai. Biarpun kakek itu tadi sudah menganjurkan agar dia menyambut tantangan gadis itu, tetap saja dia merasa sungkan dan tidak enak hati terhadap ketua Hwa I Kaipang. Melihat pemuda itu menoleh kepadanya, Pek Mau Lokai sambil tertawa mengangguk.
  391. Dengan adanya Cu In dan kakek berpakaian pengemis itu, masih ada pula Kwi Hong dan ibunya, dan siapa tahu gadis cantik yang dekat kakek jembel pengemis itu juga orang yang lihai, agaknya sukar baginya untuk membunuh Pangeran Tao Kuang. Pula dia akan menyesal setengah mati kalau ternyata benar semua keterangan.
  392. Kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih itu memang benar adalah Swat-hai Lo-kwi, kakek yang dulu ber­temu dengan Keng Han di Pulau Hantu. Adapun kakek kedua yang menawan Souw Cu In, gadis berpakaian putih itu adalah Tung-hai Lo-mo. Kedua orang kakek ini sedang berjalan seiring menuju ke Bu-­tong-san.
  393. Kalau tidak demikian halnya, tidak mungkin kakek itu mengangkatnya sebagai pembantu dan menganjurkan dia menyambut tantangan Yen Yen. Kakek yang sakti itu sudah melihat sepak terjangnya ketika mereka di keroyok pasukan, tentu telah dapat mengukur kepandaiannya dan membandingkan dengan tingkat kepandaian Yen Yen.
  394. Keng Han mengubah gerakan silatnya dan kini dia memakai ilmu silat Toat­-beng Bian-kun, ilmu silat yang dipelajari­nya dari Pulau Hantu. Ilmu silat ini ber­sifat lemas, namun di balik kelemasan itu terkandung tenaga dahsyat sekali sehingga ketika dia menangkis, pukulan kakek itu seperti masuk ke dalam air saja.
  395. Biarpun ia melihat bahwa selain kakek botak yang lihai, di situ terdapat pula belasan orang prajurit, bahkan ia mengenal pula kehadiran ketua Hek I Kaipang, yaitu Coa Kun, dan puterinya yang lihai di samping seorang kakek dan seorang nenek tua renta yang tadi berkereta bersama ketua Hek I Kaipang, Yen Yen tidak merasa gentar.
  396. Yang menentangnya akan berhadapan dengan aku, heh-heh! Aku sendiri, biarpun dicalonkan, tidak akan ikut memperebutkan kedudukan Beng-cu, melainkan kuberikan kepada Cu Goan Ciang yang lebih berhak dan lebih pantas menjadi Beng-cu!" Ucapan ini jelas menunjukkan bahwa kakek ini berdiri di belakang Cu Goan Ciang dan akan membelanya.
  397. Mereka melanjutkan perjalanan dan hati Goan Ciang merasa lega bahwa sejauh ini, Goan Ciang merasa lega bahwa sejauh ini, gadis yang luar biasa itu tidak pernah memperlihatkan dengan sikap, kata-kata maupun perbuatan tentang isi hatinya, yang oleh kakek Pek-mou Lo-kai dikatakan bahwa gadis itu telah memilih dia sebagai calon jodoh!
  398. Kalau aku ingin ikan, tidak usah beli dan menangkap ikan apa sih sukarnya? Kaulihat!" Tiba-tiba kakek itu menggerakkan ujung tangkai pancingnya ke dalam air seperti orang menusuk dengan tombak dan ketika dia mengangkat tangkai pancing itu.... di ujung tangkai dari bambu itu sudah tertusuk seekor ikan besar yang menggelepar-gelepar.
  399. "Kek, namaku....biasa orang memanggilku Siauw Cu (Cu Kecil) dan aku datang ah, terus terang saja aku hana bisa bilang bahwa aku datang dari belakang dan ingin pergi ke depan!" Melihat kakek itu tertawa, dia cepat menyambung, "Aku, tidak mempermainkanmu, kek. Memang aku tidak mempunyai tempat tinggal, tidak mempunyai tujuan perjalanan.
  400. Melihat ini, Hek Houw dan tujuh orang sisa anak buahnya hendak melarikan diri karena gemetar menghadapi kakek raksasa yang amat ganas dan lihai itu, kan tetapi kakek itu tertawa bergelak dan sekali kedua tangannya didorongkan ke depan dengan kedua kaki ditekuk ke bawah, delapan orang itu roboh semua dan berkelojotan, menggigil dan tewas tak lama kemudian.
  401. Tiba-tiba seorang pengemis yang berjenggot lebat, bertubuh tinggi besar dan memegang golok, sudah menerjang ke depan dan mengayun goloknya, akan tetapi tidak menyerang dirinya, melainkan membacok ke arah tubuh Pek Mau Lokai yang masih tidur pulas! Siauw Cu heran dan terkejut, akan tetapi dia cepat menggerakkan pedangnya sambil meloncat, melindungi kakek itu.
  402. Dan sekarang, ada seorang pemuda berani menegurnya seperti se­orang tua menegur seorang anak nakal saja! Demikian heran kakek itu sampai dia tidak mampu menbeluarkan kata­-kata, hanya memandang dengan bengong kepada Keng Han. Akhirnya setelah dia merasa yakin bahwa dia tidak sedang mimpi, dia membentak dengan bengis, Bocah setan, apa engkau sudah bosan hidup?
  403. Memang dia sudah menyangka bahwa kakek itu bukan orang sembarangan, maka diapun menyebutnya lo-cian-pwe. Akan tetapi sama sekali ia tidak menyangka bahwa kakek itu ternyata adalah seorang kaipang-cu (ketua perkumpulan pengemis), dan tiga orang yang menolong mereka dengan melemparkan bola-bola jerami bernyala kemudian membawakan dua ekor kuda itu tentulah anak buahnya.
  404. Ha-ha-ha, sudah kuduga bahwa tentu engkau Iblis Lautan Es yang berada di tempat ini karena orang-orang yang ter­pukul itu mati kedinginan! Tiba-tiba terdengar suara dan ketika Swat-hai Lo­kwi menoleh, dia melihat seorang kakek tinggi kurus yang memegang sebatang dayung baja berdiri di situ sambil ber­tolak pinggang dengan tangan kirinya dan bersandar pada dayungnya.
  405. Melihat ada orang di dalam perahu, raksasa itu menendang dan tubuh Ji Koan terlempar ke air da­lam keadaan sudah tewas karena ten­dangan itu kuat bukan main! Segera kakek itu mendayung perahu ke tengah, mengembangkan layar dan pergi cepat­-cepat dari pulau itu dengan wajah mem­bayangkan bahwa dia juga gemetar meng­hadapi barisan ular yang disebutnya Huo­hiat-coa itu.
  406. "Hemmm, kiranya engkau telah memperoleh kemajuan pesat sekali, Lauw In Sute. Aku mengaku kalah!" Kemudian, kakek itu memutar tubuhnya menghadapi Coa Kun dan berkata, "Coa-pangcu, aku sudah kalah oleh suteku, maka terpaksa aku memenuhi janji dan tidak mencampuri lagi urusan pemilihan Beng-cu ini." Setelah berkata demikian, dia lalu turun dari panggung dan meninggalkan tempat itu.
  407. "Kalahkan dulu kami kalau engkau ingin bebas!" tantangnya dan dia sudah menggerakkan pedang yang tersembunyi dalam tongkatnya itu untuk menyerang Kai-ong. Melihat pimpinan mereka sudah menyerang kakek pengemis yang baru tiba itu, anak buah Kwi-kiam-pang kembali menyerbu ke arah Cu In dan Han Li. Dua orang gadis itu menggerakkan senjata mereka dan bekerja sama melakukan perlawanan.
  408. Apa lagi ketika kakek Coa muncul dan dengan lantang berteriak memberitahu bahwa pemuda yang tinggi tegap dan gagah itu adalah Siauw Cu, yang delapan tahu lalu kematian orang tuanya kemudian menjadi penggembala ternak milik Lurah Koa dan kemudian melarikan diri karena memukuli dua orang putera lurah itu dan menjadi buronan yang tak pernah dapat ditemukan para kaki tangan sang lurah.
  409. Bagaimana gadis berpakaian putih itu sampai jatuh ke tangan Tung-hai Lo­mo? Gadis itu adalah murid Ang Hwa Nio-nio, murid ke dua akan tetapi karena ia lebih berbakat dan lebih disayang oleh Ang Hwa Nio-nio maka dalam hal ilmu silat, ia leblh lihai dari sucinya, Siang Bi Kiok atau Bi-kiam Nio-cu. Akan tetapi ia yang begitu lihai bagaimana sampai dapat ditawan dua orang kakek datuk sesat itu?
  410. "Sekarang bukan lagi menjadi hwesio, melainkan seorang biasa bernama Bouw In dan dia telah berkeluarga, menikah dengan seorang janda cantik adapun dua orang yang lain adalah suhu dan subo dari Hek I Kai-pangcu sendiri, dan engkau tahu siapa mereka? Mereka adalah Huang-ho Siang Lomo, sepasang kakek nenek suami isteri yang sudah lama mengundurkan diri dari dunia kang-ouw akan tetapi sekarang siap membantu murid mereka."
  411. Selagi semua orang kebingungan mendengar bahwa gadis berpakaian pria itu adalah anak kakek yang disangka penculik, Mimi sudah berteriak, "Aku bukan anaknya dan dia memang menculik aku! Dia penjahat besar, tolonglah aku!" Setelah berkata demikian, Mimi sudah menerjang dan menyerang dengan pukulan ke arah dada Tay-lek Kwi-ong. Kakek ini menjadi marah sekali dan dia menangkis sambil mengerahkan tenaga sehingga tubuh gadis itu terhuyung.
  412. Angin bersiut keras ketika tangan kanan itu menyambar ke arah telinga Thian Moko, dan agaknya sebelum telapak tangan itu sendiri mengenai sasaran, lebih dahulu angin pukulan yang keras membuat tubuh kakek itu mendoyong! Akan tetapi, justeru karena tubuhnya mendoyong itulah maka lemparan tangan Tay-lek Kwi-ong luput! Nampaknya saja demikian, akan tetapi sesungguhnya, kakek yang berpengalaman dan lihai itu memang mempergunakan kelembutan untuk mengalahkan kekasaran.
  413. Terdapat seorang kakek berusia enam puluh tahun lebih, tinggi besar berkepala botak dengan jubah merah, dan yang lain adalah pasukan pemerintah, dapat dikenal dari pakaian seragam mereka! Celaka, dia belum berhasil membunuh ketua Hek I Kaipang, sekarang telah dikepung pasukan pemerintah, dan agaknya gadis berpakaian serba hijau yang tadi menyerangnya dengan pedang adalah puteri ketua Hek I Kaipang yang pernah dia dengar dari keterangan Yen Yen. Gadis yang membuat Yen Yen kewalahan dan katanya lebih lihai dibandingkan ketua Hek I Kaipang sendiri.
  414. Tay-lek Kwi-ong agaknya dapat merasakan apa yang dipikirkan semua orang, maka diapun merasa agak malu harus menandingi seorang kakek loyo seperti itu, maka setelah berhadapan satu lawan satu, diapun menjura dan berkata dengan nada mengejek, "Lo-cian-pwe, apakah tidak sebaiknya kalau lo-cian-pwe mundur saja? Lo-cian-pwe sudah terlalu tua untuk menjadi Beng-cu, sebaiknya kalau menghabiskan sisa waktu yang tak berapa lama lagi di rumah saja, menerima pelayanan anak cucu, dan mengalah kepada aku yang lebih muda." Ucapan itu seperti membujuk, pada hal mengandung ejekan yang menyakitkan hati.
  415. Semua tokoh kang-ouw juga mengenal baik kakek jangkung kurus ini karena namanya sebagai pendiri dan pemimpin Hwa I Kaipang, sudah terkenal di sepanjang lembah Yang-ce. Bahkan para tokoh besar dunia persilatan juga segan melihat sebatang tongkat butut yang selalu menjadi temannya karena tongkat itu kabarnya tak pernah dikalahkan lawan! Di samping kanan kakek ini duduk seorang gadis yang berusia dua puluh satu tahun, cantik manis dengan tubuhnya yang tinggi ramping, rambutnya hitam tebal digelung ke atas, wajahnya bulat telur manis sekali, dengan sepasang mata indah dan jeli, dagunya runcing dan di sebelah kiri mulutnya membayang lesung pipit.
Bagaimana sobat? mudah-mudahan kalimat di atas dapat membantu kaian. Jika punya kalimat lain, silahkan sobat tambahkan di kotak komentar.

No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.